Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira melihat ada kejanggalan dari data penopang perekonomian yang disampaikan oleh BPS. Misalnya, kinerja industri dalam negeri.
"Pertumbuhan ekonomi BPS tidak mencerminkan kondisi riil ekonomi. Ada beberapa data yang janggal, salah satunya soal pertumbuhan industri pengolahan," kata Bhima.
Menurut Bhima, untuk kinerja industri pengolahan ada selisih yang besar antara data yang disampaikan oleh BPS dan PMI Manufaktur Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data BPS, menurut lapangan usaha, industri pengolahan yang kontribusinya 18,67 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mampu tumbuh 5,68 persen. Hal ini dinilai berbeda dengan kinerja PMI Manufaktur yang turun kian dalam dari level 47,4 menjadi 46,9 per akhir Juni 2025.
Bhima menekankan, data yang kontraksi tersebut bahkan juga tercermin dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih terjadi di sektor padat karya. Penciptaan lapangan kerja juga tidak tumbuh sehingga ia sangat meragukan data yang disampaikan.
"Jadi penjelasannya apa? bagaimana mungkin PHK massal di padat karya meningkat, terjadi efisiensi dari sektor industri, penjualan semen turun, bahkan di sektor hilirisasi juga smelter nikel ada yang berhenti produksi tapi industri tumbuh tinggi, kan aneh," jelas Bhima.
Tak hanya itu, keanehan dilihat Bhima dari kinerja konsumsi rumah tangga yang pertumbuhannya masih di bawah 5 persen atau terealisasi 4,97 persen. Padahal, kontribusinya ke perekonomian sebesar 54,25 persen.
"Idealnya konsumsi rumah tangga tumbuhnya di atas 5 persen agar pertumbuhan ekonomi total jadi 5,12 persen yoy. Jadi ini ada indikasi yang membuat publik meragukan akurasi data BPS," terangnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membantah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memoles data pertumbuhan ekonomi Indonesia agar terbang ke 5,12 persen pada kuartal II 2025.
"Mana ada (permainan data pertumbuhan ekonomi)," bantah Airlangga ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Selasa (5/8).
Ia kemudian menjawab keraguan publik dengan data-data yang direkam oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Misalnya, konsumsi masyarakat yang tumbuh tinggi sekitar 4,97 persen.
Airlangga mengingatkan data konsumsi rumah tangga itu berkontribusi sebesar 54 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia di kuartal II 2025.
"Kemudian, investasi tumbuh 6,99 persen; transaksi di eceran meningkat; (transaksi) uang elektronik (meningkat) 6,26 persen; kemudian (transaksi) marketplace tumbuh quarter to quarter (qtq) 7,55 persen," jelasnya.
"Dari perjalanan, akibat kita membuat kebijakan. Baik itu (diskon tiket) pesawat, kereta api, maupun jalan tol. Itu perjalanan wisatawan nusantara tumbuh 22,3 persen, wisatawan mancanegara tumbuh 23,32 persen," imbuh Airlangga.
Anak buah Presiden Prabowo Subianto itu juga menegaskan hampir 3,6 juta lapangan kerja tercipta berkat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menambahkan realisasi laju ekonomi yang di atas ekspektasi merupakan buah dari kerja pemerintah. Salah satunya, dalam merancang program, kebijakan termasuk stimulus ekonomi.
Menurut Prasetyo, stimulus telah berhasil memacu mesin pertumbuhan sehingga ekonomi bisa tembus 5,12 persen.
Ia mengingatkan pertumbuhan ekonomi terdiri dari beberapa komponen, mulai dari belanja rumah tangga, belanja pemerintah, investasi.
"Jadi tidak hanya satu-dua komponen. Komponen-komponen itu adalah hasil dari program-program yang kalau dari sisi pemerintah itu adalah hasil dari stimulus-stimulus yang disiapkan oleh pemerintah, ya memang demikian. Kerjanya, sistemnya begitu," jelas Prasetyo.
(sfr)