Ekonom Hong Kong and Shanghai Banking Corporation Limited (HSBC) mengatakan pertumbuhan ekonomi RI sebesar 5,12 persen pada kuartal II 2025 belum cukup bagus.
Chief Indonesia and India Economist HSBC Global Research Pranjul Bhandari mengatakan pertumbuhan ekonomi 5,12 persen belum menutup kesenjangan output (output gap) perekonomian.
"Apakah fakta bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal II lebih tinggi daripada kuartal I cukup bagus? Jawaban saya adalah tidak, itu belum cukup bagus," katanya dalam media briefing HSBC: Indonesia Economy Outlook H2-2025 secara daring, Jumat (8/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena kita melihat output gap terus menjadi negatif," sambungnya.
Output gap negatif secara umum berarti output aktual (nyata) dari suatu perekonomian lebih rendah daripada output potensialnya (kemampuan produksi maksimumnya). Ini menunjukkan bahwa perekonomian tidak beroperasi pada kapasitas penuh.
Secara sederhana, output gap negatif menunjukkan bahwa perekonomian sedang mengalami penurunan atau berada dalam kondisi yang tidak lebih baik dari yang seharusnya, jika semua sumber daya dimanfaatkan secara optimal.
Karena itu, Pranjul mengatakan dibutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi agar output gap tidak negatif.
"Kita menginginkan pertumbuhan yang lebih tinggi atau lebih lama agar kesenjangan output ini dapat tertutupi.Oleh karena itu, kuartal II yang kuat merupakan awal yang baik, tetapi kita membutuhkan angka yang lebih tinggi lagi dalam beberapa kuartal mendatang," katanya.
Untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi, sambungnya, dibutuhkan peningkatan investasi korporasi. Ia mengatakan hanya ketika investasi korporasi meningkat, kapasitas ekonomi untuk tumbuh dan menciptakan lapangan kerja dengan upah tinggi juga akan meningkat.
"Anda tahu, korporasi sedang menabung. Jadi, ada banyak tabungan di luar sana, tetapi mereka tidak berinvestasi. Apa yang akan membuat korporasi berinvestasi? Itulah pertanyaan besar yang dihadapi Indonesia," katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 persen secara tahunan atau year on year (yoy) pada kuartal II 2025.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh Edy Mahmud melaporkan ekonomi RI berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) kuartal II 2025 atas dasar harga berlaku adalah Rp5.947 triliun. Sedangkan PDB atas dasar harga konstan senilai Rp3.396,3 triliun
"Sehingga pertumbuhan Indonesia pada kuartal II 2025 bila dibandingkan dengan kuartal II 2024 atau secara yoy tumbuh sebesar 5,12 persen," ucap Edy dalam Konferensi Pers di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Selasa (5/8).
"Bila dibandingkan dengan kuartal I 2025 atau secara quarter to quarter (qtq) tumbuh sebesar 4,04 persen," imbuhnya.
Namun, data tersebut diragukan karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Keraguan tersebut salah satunya datang dari ekonom.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira misalnya mengatakan ada kejanggalan dari data penopang perekonomian yang disampaikan oleh BPS. Kejanggalan salah satunya terkait kinerja industri pengolahan.
"Pertumbuhan ekonomi BPS tidak mencerminkan kondisi riil ekonomi. Ada beberapa data yang janggal, salah satunya soal pertumbuhan industri pengolahan," kata Bhima kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Bhima, untuk kinerja industri pengolahan ada selisih yang besar antara data yang disampaikan oleh BPS dan PMI Manufaktur Indonesia.
Berdasarkan data BPS, menurut lapangan usaha, industri pengolahan yang kontribusinya 18,67 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mampu tumbuh 5,68 persen. Hal ini dinilai berbeda dengan kinerja PMI Manufaktur yang turun kian dalam dari level 47,4 menjadi 46,9 per akhir Juni 2025.
Bhima menekankan, data yang kontraksi tersebut bahkan juga tercermin dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masih terjadi di sektor padat karya. Penciptaan lapangan kerja juga tidak tumbuh sehingga ia sangat meragukan data yang disampaikan.
"Jadi penjelasannya apa? bagaimana mungkin PHK massal di padat karya meningkat, terjadi efisiensi dari sektor industri, penjualan semen turun, bahkan di sektor hilirisasi juga smelter nikel ada yang berhenti produksi tapi industri tumbuh tinggi, kan aneh," jelas Bhima.