Kemenkeu Irit Bicara soal Nasib PPN di 2026, Jadi Naik ke 12 Persen?

CNN Indonesia
Selasa, 12 Agu 2025 15:35 WIB
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih irit bicara terkait nasib tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 2026.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih irit bicara terkait nasib tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 2026. Ilustrasi. (iStockphoto).
Jakarta, CNN Indonesia --

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih irit bicara terkait nasib tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 2026.

Tarif PPN seharusnya naik dari 11 persen ke 12 persen di 2025, tetapi dibatalkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

Sang Kepala Negara menegaskan PPN 12 persen hanya diberlakukan untuk kelompok barang mewah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemenkeu lalu menetapkan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain 11/12 untuk pemungutan PPN di Indonesia. Kepastian tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025.

Sementara, aturan tarif PPN 12 persen untuk barang-barang mewah ditegaskan dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024. Aturan itu resmi berlaku sejak 1 Januari 2025.

"Sebentar saya cek dulu ya," ujar Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal di Kantor CELIOS, Jakarta Pusat, Selasa (12/8).

"Tapi rasanya sih kalau PMK-nya berlakunya sejak 1 Januari 2025, kan belum ada update lagi," tegasnya soal nasib PPN.

Yon Arsal enggan membocorkan berapa tarif baru PPN di 2026. Ia malah menyarankan untuk bertanya langsung dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Konferensi Pers APBN Kita mendatang.

Ia tak merinci kapan tanggal konferensi pers tersebut. Ia hanya menegaskan dalam waktu dekat pemerintah segera membacakan Nota Keuangan dan RAPBN 2026, yakni pada 15 Agustus 2025.

Di lain sisi, anak buah Menkeu Sri Mulyani itu menyinggung soal tax ratio Indonesia yang ada di posisi 10,2 persen. Yon mengklaim rasio pajak Indonesia sebenarnya bisa digenjot lagi hingga 13 persen, asalkan memasukkan variabel penerimaan lain.

Yon menyebut selama ini komponen yang dihitung dalam tax ratio Indonesia adalah penerimaan pajak ditambah kepabeanan.

Namun, ia menilai seharusnya komponen penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta pajak daerah dimasukkan ke dalam perhitungan tax ratio.

"Hitungan saya kalau tahun lalu (2024), misalnya, ini contoh saja, tax ratio kita itu 10,2 persen kurang lebih. Kalau kita akumulasikan dengan PNBP SDA mungkin kurang lebih sekitar 1,5 persen-2 persen, berarti kita sudah sekitar 12 persen (tax ratio)," tuturnya.

"Tambah 1,5 persen lagi dalam bentuk pajak daerah, 1 persen-1,5 persen. Jadi, sebenarnya tax ratio kita itu kalau mau komparasi itu ya masih relatively sekitar 13 persen-13,5 persen rata-rata setiap tahun," imbuh Yon.

[Gambas:Video CNN]

(skt/sfr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER