Apa yang Memicu 'Rusak' Kualitas Pariwisata Bali?
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Pandjaitan mengungkap sejumlah persoalan yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi perekonomian dan pariwisata di Bali.
Persoalan-persoalan itu meliputi overtourism, kemacetan, sampah, hingga meningkatnya pelanggaran oleh warga negara asing (WNA).
Menurut Luhut, ada sejumlah pelanggaran yang melibatkan WNA. Mulai dari penyalahgunaan visa investor sampai izin tinggal.
Luhut juga mengungkap banyak izin skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang diberikan kepada perusahaan asing. Bahkan, 39,7 persen di antaranya tidak memenuhi persyaratan usaha.
Ia mengatakan masalah-masalah ini muncul seiring pemulihan pariwisata Bali pascapandemi Covid-19. Menurutnya, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali hari ini sudah melampaui kondisi sebelum pandemi.
"Saya dan jajaran di @dewanekonomi.id melihat, bila tidak segera ditangani, masalah-masalah ini dapat berdampak besar bagi pariwisata Bali ke depan. Karena itu, bersama Bank Dunia kami sedang menyiapkan studi komprehensif untuk merancang pariwisata yang lebih berkualitas dan berkelanjutan," kata Luhut melalui akun Instagram, Rabu (20/8).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat deretan masalah di Bali sebenarnya timbul karena kebijakan pemerintah.
Bhima mengatakan hal itu terjadi bahkan sejak Luhut menjabat Menteri Koordinator Bidang Investasi dan Kemaritiman. Ia berkata pemerintah membuka gerbang pariwisata Bali seluas-luasnya dengan bebas visa.
"Sehingga yang masuk ke Bali juga turis-turis yang tidak mampu mendorong kualitas pariwisatanya semakin naik," kata Bhima saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (21/8).
Kebijakan itu tidak dibarengi pengawasan yang baik. Bhima menyebut banyak bangunan liar yang didirikan, bahkan mengonversi sawah produktif.
Selain itu, pemerintah pusat telat menyediakan fasilitas transportasi publik memadai di Bali. Jumlah turis asing di Bali semakin meningkat, tetapi tidak ada angkutan publik yang bisa meredam kemacetan.
Bhima menyarankan pemerintah segera mengambil langkah konkret. Pertama, penegakan hukum terhadap pelanggaran izin tinggal dan visa investor.
Kedua, pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan bebas visa di Bali. Ketiga, penindakan terhadap izin bangunan liar dan UMKM bagi perusahaan asing.
Keempat, harus segera ada pembangunan transportasi publik massal. Bhima menyarankan moda MRT di tengah kota. Selain itu, transportasi penghubung ke utara Bali.
Bhima menilai kondisi Bali ini sudah mengkhawatirkan. Ia berpendapat pariwisata Bali bisa anjlok jika tidak ada langkah serius pemerintah dalam enam bulan ke depan.
"Waktu ada perang Thailand dan Kamboja, itu sebenarnya banyak wisatawan yang memandang Asia Tenggara, Bali, jadi salah satu destinasi pilihan. Momentum itu juga akhirnya enggak bisa dioptimalkan, salah satunya juga karena tadi masalah overtourism," ujarnya.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita meminta pemerintah membenahi Bali tanpa membatasi kunjungan wisatawan asing.
"Ekses negatifnya diatasi, bukannya dibatasi kunjungannya, karena kalau kunjungannya dibatasi justru akan mempengaruhi perekonomian Bali," kata Ronny.
Ia mengingatkan pariwisata menjadi salah satu sumber pendapatan devisa terbesar Indonesia. Bali menjadi kontributor utama dengan sumbangan setengah dari total kunjungan WNA ke Indonesia.
Bali ia nilai harus terus mencetak kunjungan turis asing. Ia khawatir perekonomian nasional akan terganggu bila permasalahan Bali tidak direspons dengan tepat dan cepat.
Ronny menyarankan pemerintah segera membenahi sejumlah kebijakan. Misalnya, memperbaiki tata kelola sampah.
Selain itu, pemerintah harus mengkaji ulang rencana penataan Bali. Ia menyebut harus ada kejelasan wilayah-wilayah mana saja di Bali yang masuk kategori wisata massal dan wisata khusus.
Ia menjelaskan wisata massal atau mass tourism meliputi daerah seperti pantai yang berpotensi dikunjungi banyak orang. Adapun wisata khusus atau special interest tourism dikunjungi turis secara terbatas dan lebih tertata.
"Kalau mass tourism, ya kalau banyak kunjungannya wajar. Kalau kunjungannya banyak lalu sampahnya berserahkan, ya itu salahnya pemerintah, bukan salahnya turis," ucap Ronny.
"Tapi kalau kunjungan itu berlimpah, tak terbatas ke special interest tourism, nah ini harus dipersoalkan. Ini kan destinasinya khusus dan harus dibatasi demi menjaga ekosistem, demi menjaga kelestarian budaya," katanya.