Sementara itu, Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana menduga pemantik dari pengolahan logam tanah jarang adalah kondisi di China. Ia menyebut Negeri Tirai Bambu menguasai 90 persen rare earth elements yang menjadi komponen penting dalam produksi berbagai teknologi tinggi, seperti chip komputer.
Komoditas mineral kritis itu bahkan dijadikan sebagai alat tawar oleh China terhadap negara-negara Barat. Pasalnya, industri dunia memiliki ketergantungan terhadap pasokan logam tanah jarang tersebut.
"Laporan mengenai perkembangan kondisi global inilah yang bisa jadi membuat Prabowo kepincut untuk membentuk lembaga baru khusus mengenai ini, ketimbang mengkoordinasikan lembaga yang sebenarnya tupoksinya sudah ada di Kementerian ESDM," prediksi Andri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andri menjelaskan sebenarnya rare earth element tidak benar-benar langka seperti namanya. Ia menyebut potensi cadangan dari rare earth element bahkan bisa lebih banyak dari logam langka lain, misalnya emas.
Kendati begitu, logam tanah jarang bersifat krusial dan dibutuhkan banyak industri saat ini. Andri menyinggung rantai pasoknya sangat mudah terjadi bottleneck oleh negara yang melakukan rafinasi alias pemurnian logam tanah jarang tersebut.
Ia menilai Indonesia punya potensi untuk mengembangkan pengolahan logam tanah jarang di dalam negeri. Utamanya, yang bersumber dari mineral ikutan penambangan nikel serta timah.
"Permasalahannya bukan berada pada keberadaan sumber logam tanah jarang, namun lebih kepada jumlah dana investasi yang diperlukan akan sangat besar dan memerlukan waktu jangka panjang untuk mengembangkan fasilitas pemrosesan tersebut," tuturnya.
Ia mencontohkan bagaimana Negeri Kangguru sampai harus merogoh kocek 1,65 miliar dolar Australia atau setara Rp17,44 triliun (asumsi kurs Rp10.572 per dolar Australia) untuk mendanai rafinasi logam tanah jarang.
Begitu pula Amerika Serikat (AS) yang baru berinvestasi dengan MP Materials untuk pengembangan industri rare earth dalam 10 tahun ke depan.
"Di luar potensi yang Indonesia punya, Indonesia juga perlu memperhatikan tantangan dalam jangka panjang dan potensi peta pasar yang bisa jadi sangat berubah dalam 10 tahun ke depan," pesan Andri.
(agt)