Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok pada awal perdagangan hari ini, Senin (1/9), di tengah maraknya aksi unjuk rasa di sejumlah daerah.
Berdasarkan data RTI Infokom pukul 09.00 WIB, IHSG melemah 239,84 poin atau 3,06 persen ke level 7.590.
IHSG dibuka di posisi 7.620, sempat naik tipis ke 7.622, namun kemudian turun ke titik terendah 7.547. Nilai transaksi tercatat sekitar Rp3,08 triliun dengan volume perdagangan 3,64 miliar saham.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari seluruh saham yang diperdagangkan, 627 saham ambruk, hanya 16 saham yang naik, dan 30 saham stagnan.
Lihat Juga : |
Tekanan jual datang dari berbagai pihak, baik investor lokal maupun asing. Investor dalam negeri tercatat melakukan pembelian sekitar 43,9 miliar saham, namun penjualannya hampir setara di 43,2 miliar saham.
Sementara itu, investor asing membeli sekitar 7,7 miliar saham dan menjual 8,4 miliar saham, sehingga secara keseluruhan asing mencatat posisi jual bersih (net sell).
Analis menilai pelemahan IHSG ini dipicu oleh ketidakpastian pasar akibat kerusuhan yang terjadi belakangan ini, membuat investor cenderung berhati-hati dan mengurangi aktivitas belanja saham.
Founder WH-Project William Hartanto melihat indeks saham melemah setelah gagal menembus level 8.000 sebanyak dua kali, yang secara teknikal membentuk pola double top. Kondisi ini diperparah oleh sentimen negatif dari aksi demonstrasi di dalam negeri.
"Penyebab pelemahan berasal dari kombinasi faktor teknikal dan aksi demo, dengan kegagalan IHSG menembus level 8.000 yang membentuk pola double top," ujar William dalam riset hariannya.
VP Equity Retail Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi memperkirakan indeks saham pada Senin (1/9) bergerak mixed cenderung melemah di rentang level support 7.745 dan resistance 7.920.
Ia melihat tekanan datang dari keluarnya dana asing sebesar Rp1,1 triliun pada perdagangan Jumat (29/8) serta pelemahan rupiah yang menembus Rp16.400 per dolar AS, level tertinggi sejak awal Agustus 2025.
"Pekan depan IHSG akan dipengaruhi eskalasi instabilitas politik dalam negeri yang menekan keyakinan investor, rilis data inflasi Agustus yang diperkirakan 2,4 persen secara tahunan, serta data S&P PMI manufaktur yang masih berada di zona kontraksi," ujar Oktavianus kepada CNNIndonesia.com, Minggu (31/8).
(del/pta)