ANALISIS

Pak Prabowo, Begini lho Tunjangan DPR yang Adil Bagi Rakyat

Sakti Darma Abhiyoso | CNN Indonesia
Rabu, 03 Sep 2025 07:45 WIB
Besaran gaji dan tunjangan DPR seharusnya memperhatikan penghasilan masyarakat. Ada beragam opsi skema yang lebih adil dan tak menyakiti rakyat.
Opsi Skema Ideal dan Besaran Tunjangan. (Foto: REUTERS/WILLY KURNIAWAN)

Kepala Center Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman melihat tunjangan perumahan Rp50 juta jelas problematik. Ia tak menemukan rasionalisasi mengapa negara harus membiayai mereka yang sudah berdomisili di Jabodetabek dan punya rumah pribadi.

Seharusnya tunjangan rumah tak diberikan seragam kepada anggota parlemen. Desain yang lebih adil, menurut Rizal, adalah memberikan hanya untuk anggota DPR RI dari luar Jabodetabek.

Ia juga menyarankan seharusnya tunjangan rumah diberikan dengan mekanisme rembes, serta harus berdasarkan plafon yang wajar dan sesuai indeks sewa di Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jika dihitung efektif, sebenarnya biaya sewa kontrak lima tahun setara hanya Rp10 juta per bulan, sehingga angka yang pantas berada di kisaran itu, bukan Rp50 juta flat yang terkesan mengada-ada. Kebijakan perumahan seharusnya berbasis kebutuhan nyata, bukan privilese kolektif yang menyinggung rasa keadilan sosial masyarakat," tuturnya.

Kendati demikian, ia menilai tidak semua tunjangan DPR RI harus dihapus total. Ada beberapa pos yang sejatinya memang terkait langsung dengan biaya operasional, seperti perjalanan dinas ke daerah pemilihan (dapil).

Rizal mengatakan beberapa tunjangan hanya perlu diubah skemanya, tidak lagi lump sum alias pembayaran langsung di muka yang sulit diaudit. Semestinya pemerintah menerapkan tunjangan yang berbentuk rembes (reimbursement) berbasis standar biaya resmi.

Secara politik anggaran, ia menyebut langkah pemerintah dan delapan fraksi DPR mencabut sejumlah tunjangan sudah di koridor yang tepat. Tinggal detailnya yang harus ditetapkan melalui Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) agar punya kepastian hukum kuat dan tidak kontraproduktif dengan fungsi kelembagaan.

"Sementara tunjangan-tunjangan yang bersifat simbolik, seremonial, atau sekadar menambah kenyamanan personal, seperti tunjangan kehormatan maupun komunikasi intensif semestinya dicabut. Karena dalam kerangka ekonomi publik yang sehat, efisiensi anggaran harus disertai asas keadilan fiskal. Sehingga yang tersisa hanyalah gaji pokok plus penggantian biaya riil sesuai kinerja, bukan privilese tambahan yang memperlebar jurang kepercayaan antara DPR dan rakyat," tegas Rizal.

Namun, Rizal melihat dampak fiskal dari penghapusan tunjangan DPR sebenarnya tidak akan menyelamatkan APBN secara signifikan. Sebab, nominalnya relatif kecil dibandingkan total belanja negara. Akan tetapi, langkah tersebut dipastikan punya nilai politik dan ekonomi yang besar. Yang paling terasa adalah pemulihan legitimasi parlemen serta kepercayaan publik.

"Dari sisi angka, penghematan ratusan miliar rupiah per tahun bisa dicapai bila tiga tunjangan besar plus dana reses direformasi. Dana ini sebaiknya dialihkan ke program dengan multiplier effect tinggi, seperti bantuan pangan tepat sasaran, pembiayaan UMKM produktif, dukungan kesehatan, dan pendidikan vokasi," saran Rizal.

Harapannya, manfaat fiskal yang tadinya hanya untuk kenyamanan politikus bisa berubah menjadi stimulus langsung yang dirasakan masyarakat luas. Upaya itu juga diklaim bisa memperkuat daya beli sekaligus meningkatkan produktivitas nasional.

Ia juga memberi catatan khusus untuk dana aspirasi dan reses yang diperoleh DPR RI, di mana pagu rata-ratanya lebih dari Rp2 triliun per tahun. Dana tersebut penting untuk menjalankan fungsi representasi, tapi rawan diselewengkan karena bentuknya lump sum dan tidak transparan.

Rizal menyarankan reformasi dana aspirasi dan reses menjadi sistem rembes berbasis output nyata. DPR RI harus melaporkan jumlah forum yang digelar, risalah aspirasi terdokumentasi, serta tindak lanjut yang bisa diverifikasi dengan ledger terbuka per anggota sehingga akan diaudit publik.

Hal serupa, imbuhnya, berlaku untuk DPRD. Aturan pusat dirinci dalam peraturan daerah sehingga nominalnya bervariasi. Namun, pola tunjangan seragam, seperti rumah, transportasi, komunikasi intensif tetap rawan membengkak jika tidak disiplin terhadap standar kewajaran.

"Oleh karena itu, pemerintah perlu menata ulang juga tunjangan DPRD agar berbasis reimbursement sesuai SBU (standar biaya umum), transparan, dan berorientasi output," tegas Rizal.

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menawarkan dua usul skema terkait pemberian gaji dan tunjangan anggota DPR RI ke depan.

Pertama, menggabungkan seluruh tunjangan menjadi satu kesatuan dalam nama tunjangan kinerja. Ini berarti menghapus tunjangan melekat, seperti komunikasi, kehormatan, dan kehadiran rapat karena memang kegiatan tersebut adalah tugas anggota DPR RI.

Tunjangan tetap, seperti tunjangan istri, anak, dan beras kemudian disatukan dalam tunjangan kinerja. Huda menyarankan besaran tunjangan tersebut tidak boleh melebihi 3 kali dari produk domestik bruto (PDB) per kapita.

Kedua, menerapkan single salary bagi anggota DPR. Gaji pokok dan tunjangan menjadi satu.

"Pendapatan anggota DPR mengikuti skema tenaga ahli karena (masa kerja) anggota DPR tidak panjang seperti PNS, tapi ada kontrak seperti tenaga ahli. Maka benchmarking dari pendapatannya adalah tenaga ahli dengan fasilitas setara eselon I," saran Huda.

Ia juga secara spesifik menyoroti tunjangan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 sebesar Rp2.699.813 yang saat ini diterima DPR RI. Menurutnya, ada perdebatan terkait definisi pejabat negara yang pajaknya ditanggung pemerintah.

Huda mengusulkan anggota DPR seharusnya tidak digolongkan sebagai pejabat negara, sehingga pajaknya tak dikecualikan. Yang berhak mendapatkan pembebasan pajak seharusnya aparatur sipil negara (ASN) yang punya kontrak kerja lama dengan pemerintah.

"Dengan begitu, anggota DPR ataupun pejabat setingkat menteri tidak memiliki insentif DTP (pajak ditanggung pemerintah). Minimal memberikan rasa keadilan perpajakan bagi semua pihak, jadi harus ada revisi aturannya," tegasnya.

Daftar 11 tunjangan DPR RI berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015:

1. Tunjangan kehormatan

- Ketua badan atau komisi Rp6.690.000
- Wakil ketua badan atau komisi Rp6.450.000
- Anggota Rp5.580.000

2. Tunjangan komunikasi intensif

- Ketua badan atau komisi Rp16.468.000
- Wakil ketua badan atau komisi Rp16.009.000
- Anggota Rp15.554.000

3. Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran

- Ketua badan atau komisi Rp5.250.000
- Wakil ketua badan atau komisi Rp4.500.000
- Anggota Rp3.750.000

4. Tunjangan istri/suami Rp420.000
5. Tunjangan anak Rp168.000
6. Tunjangan jabatan Rp9.700.000
7. Tunjangan beras Rp30.090/jiwa
8. Tunjangan PPh Pasal 21 Rp2.699.813
9. Bantuan langganan listrik dan telepon Rp7.700.000
10. Tunjangan uang sidang/paket Rp2.000.000
11. Tunjangan rumah Rp50.000.000.

(pta)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER