ANALISIS

Risiko Besar Mengintai RI Jika Pendosa Pajak Diberi Tax Amnesty Lagi

Sakti Darma Abhiyoso | CNN Indonesia
Rabu, 24 Sep 2025 07:05 WIB
Pengamat meminta Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menggagalkan rencana Tax Amnesty Jilid III karena justru berpotensi menyuburkan penggelapan pajak. ( iStockphoto/designer491).
Jakarta, CNN Indonesia --

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tampak ngotot mengampuni lagi pendosa pajak melalui mekanisme Tax Amnesty Jilid III.

Sejak November 2024, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

Upaya itu ternyata tak membuahkan hasil, sampai akhirnya ide Tax Amnesty didorong kembali ke Prolegnas Prioritas 2026.

Namun demikian, keinginan itu sepertinya bertepuk sebelah tangan. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa sudah tegas menolak ide pengampunan pendosa pajak.

Ia menilai Tax Amnesty Jilid III justru memberikan sinyal buruk untuk urusan perpajakan tanah air.

"Itu memberikan sinyal ke para pembayar pajak bahwa boleh melanggar, nanti ke depan-depan ada (tax) amnesty lagi ... Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, ya sudah, nanti semuanya akan nyelundupin duit, tiga tahun lagi Tax Amnesty," jelas Purbaya dalam Media Briefing di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (19/9).

"Setiap berapa tahun kita mengeluarkan Tax Amnesty, sudah jilid dua kan? Satu, dua, nanti tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan. Ya sudah, semuanya akan, message-nya adalah 'Kibulin saja pajaknya, nanti kita tunggu di Tax Amnesty. Pemutihannya di situ'. Itu yang gak boleh!" tegasnya.

Pengampunan bagi pendosa pajak memang bukan barang baru. Tax amnesty pertama dilakukan pada 2016-2017, di mana kala itu pemerintah mengaku hanya akan melakukannya sekali demi menarik pengungkapan aset wajib pajak yang selama ini belum dilaporkan.

Amnesti pajak jilid I diikuti 956.793 wajib pajak dengan nilai harta yang diungkap mencapai Rp4.854,63 triliun. Pengungkapan harta itu membuat negara mendapatkan uang tebusan Rp114,02 triliun, yakni 69 persen dari target Rp165 triliun.

Pemerintah ternyata melanggar janjinya dengan membuat Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. Ada 247.918 wajib pajak mengikuti PPS dengan total harta yang diungkap senilai Rp594,82 triliun, di mana keseluruhan pajak penghasilan (PPh) yang diraup negara tembus Rp60,01 triliun.

Menyikapi itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (PK-TRI) Prianto Budi Saptono lantas mengutip Pasal 23A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Beleid itu menegaskan bahwa urusan pajak untuk keperluan negara memang harus berdasarkan undang-undang.

"Pembahasan undang-undang (Tax Amnesty Jilid III) harus dilakukan bersama antara pemerintah dan DPR. Ketika salah satu pihak tidak lagi bersedia membahasnya, undang-undang tidak akan pernah ada," ucap Prianto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/9).

Ia mewanti-wanti dampak buruk tax amnesty yang terlalu sering, yakni membuat wajib pajak menjadi tidak patuh. Mereka yang selama ini patuh pajak bakal merasakan ketidakadilan.

Apalagi, masyarakat sudah membayar pajak lebih tinggi dari tarif khusus pada program tax amnesty. Sedangkan para wajib pajak yang tidak patuh alias tax evaders boleh membayar dengan tarif diskon.

"Karena itu, wajib pajak patuh dapat berpikir bahwa menjadi wajib pajak tidak patuh itu lebih enak karena membayar pajak lebih rendah. Penelitian-penelitian di banyak negara juga memperlihatkan bahwa semakin sering tax amnesty diterapkan, tingkat ketidakpatuhan semakin meningkat. Alih-alih menjadi patuh setelah pelaksanaan, wajib pajak tidak patuh akan menunggu lagi kapan program tax amnesty digulirkan kembali," jelasnya.

Prianto menegaskan tugas Menkeu Purbaya ke depan bukan hanya menggagalkan ide Tax Amnesty Jilid III. Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, didesak membangun sistem perpajakan berbasis paradigma service and trust.

Misalnya, pada aspek service, otoritas pajak mesti meningkatkan kualitas pelayanan.

Prianto menyinggung sejumlah prinsip kebijakan pajak yang selalu digaungkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, seperti kemudahan administrasi (ease of administration), kesederhanaan sistem (simplicity), perlakuan adil (equality), hingga kepastian hukum (legal certainty).

Sedangkan dari sisi trust atau kepercayaan bisa ditempuh dengan pelayanan yang baik dari DJP. Harapannya, tingkat kepercayaan masyarakat kepada otoritas pajak bakal meningkat sehingga terbentuk voluntary compliance alias kepatuhan sukarela.

"Otoritas pajak tidak perlu mengedepankan paradigma cop and rob. Menurut paradigma ini, petugas pajak merasa sebagai polisi (cop) dan menganggap wajib pajak sebagai perampok (rob). Pada akhirnya, untuk meningkatkan kepatuhan pajak, otoritas pajak menerapkan enforced compliance alias kepatuhan yang dipaksa," beber Prianto.

Ia juga menekankan pentingnya upaya perbaikan coretax. Sistem inti administrasi perpajakan canggih milik DJP itu dinilai belum cukup memadai, tidak stabil, bahkan kerap muncul downtime. Sebagai konsekuensinya, wajib pajak tidak dapat mengakses layanan dengan baik.

Tax Amnesty Jilid III Bukan Solusi


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :