Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan tantangan pengembangan hidrogen hijau di Indonesia.
Salah satunya adalah biaya yang masih mahal.
"Hari ini kalau kita ingin tangani krisis iklim, hidrogen harus menjadi solusi yang tidak bisa ditawar. Tapi sebagai sebuah solusi tentunya harus bisa dimanfaatkan, dan faktor terpenting ketika kita ingin memanfaatkan itu adalah seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan," kata Fabby dalam Indonesia Energy Transition Dialogue 2025 di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu (8/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini yang sekarang jadi tantangan terbesar di seluruh dunia," sambungnya.
Fabby mengatakan dari seluruh produksi hidrogen di seluruh dunia, produksi hidrogen hijau hanya menyumbang satu persen. Penyebabnya adalah biaya produksinya yang mahal.
Ia mengatakan harga hidrogen hijau dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, harga listriknya yang berasal energi baru terbarukan (EBT)
Kedua, perkembangan teknologi electrolyzer. Ketiga, terkait permintaan.
"Demand ini yang akan menentukan pembangunan infrastrukturnya dan men-drive production. Infrastruktur termasuk transporting, untuk storage, itu ada biayanya juga. Kita bisa produksi hidrogen, tapi kalau enggak bisa dikirim ke pengguna itu akan sia-sia," kata Fabby.
"Kombinasi dari ketiga faktor ini lah yang harusnya jadi prioritas semua negara," kata Fabby.
(fby/dhf)