Jakarta, CNN Indonesia -- 
Pemerintah kembali menegaskan komitmennya untuk menindak peredaran pakaian bekas impor yang membanjiri pasar dalam negeri. Berulang kali janji digaungkan, tetapi baju bekas impor masih mudah ditemui di berbagai pasar dan merugikan industri tekstil lokal.
Pemerintah kembali mengumumkan rencana penindakan. Kali ini giliran Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang bertekad untuk menertibkan perdagangan pakaian bekas impor atau thrifting ilegal. Kebijakan tersebut bertujuan melindungi industri tekstil dalam negeri yang selama ini tertekan oleh banjir produk impor murah.
"Banyak barang-barang yang ilegal, yang balpres itu semua. Kita akan tutup, supaya industri domestik dan tekstil domestik bisa hidup," kata Purbaya dalam Rapat Kerja dengan Komite IV DPD RI, Jakarta Pusat, Senin (3/11).
 
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Purbaya menyebut pemerintah akan memperkuat aturan larangan impor pakaian bekas ilegal yang diatur dalam Permendag Nomor 40 Tahun 2022. Ia juga berencana menambah sanksi berupa denda terhadap importir yang terbukti melanggar agar negara tidak hanya menanggung biaya pemusnahan barang.
Selain itu, Purbaya meminta jajaran Bea Cukai memperketat pengawasan dan menindak tegas pelaku impor ilegal. Menurutnya, perlindungan terhadap industri lokal adalah langkah awal untuk memperkuat basis ekonomi nasional sebelum bersaing di pasar ekspor.
"Kalau tekstil kita mau hidup, kita harus buat domestic base yang kuat. Nanti kalau mereka makin kuat, daya saingnya makin bagus, baru kita serang ke luar negeri," ujarnya.
Pakaian bekas impor memang menjadi ancaman bagi industri domestik. Produksi industri garmen dalam negeri merosot imbas maraknya pakaian impor bekas ilegal. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan importasi pakaian bekas masuk dalam kategori ilegal.
Data International Trade Center (ITC) Trademap, sambungnya, menunjukkan ada sekitar US$2 miliar atau Rp33,3 triliun (kurs Rp16.686 per dolar AS) per tahun impor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang tidak tercatat dan dapat dikategorikan ilegal. Khusus untuk pakaian bekas diperkirakan nilainya sekitar US$300 juta atau Rp5 triliun per tahun.
"Jika dikonversi ke volume ada sekitar 900 juta piece per tahun," ujar Redma kepada CNNIndonesia.com, Senin (3/11).
Redma mengatakan 900 juta piece pakaian impor tersebut setara dengan 180 juta ton. Jika yang laku terjual hanya 10 persen saja, berarti setara 18 juta ton. Sedangkan kapasitas produksi garmen dalam negeri hanya 2,7 juta ton dengan produksi sekitar 2 juta ton.
Artinya ada penurunan (gap) sekitar 700 ribu ton yang tidak terpakai, karena pasar dalam negeri terserap oleh pakaian impor bekas.
"Maka industri kita produksinya turun 700 ribu ton karena terganggu dari penjualan pakaian bekas impor yang sebesar 18 juta ton," katanya.
Lantas, apa yang membuat pemerintah sulit memberantas pakaian impor bekas? Apa pula yang harus dilakukan Purbaya agar tidak gagal memberantas impor seperti sebelum-sebelumnya?
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan praktik impor pakaian bekas sudah dilarang dalam Permendag Nomor 40 Tahun 2022. Usai beleid itu disahkan, impor pakaian bekas langsung anjlok pada 2023.
Namun pada 2024, berdasarkan data yang dimiliki Nailul, impor pakaian bekas justru kembali meningkat hingga US$1,5 juta dan sudah lebih dari US$1,5 juta pada periode Januari - Agustus 2025.
"Artinya ketika dilarang, lantas masih tercatat, berarti ada pelanggaran yang terjadi di pelabuhan tempat serah terima barang. Pengaturan impor Bea Cukai masih memperbolehkan dan tercatat. Jadi ini sudah masuk dalam ranah kriminal karena melakukan pembiaran barang yang dilarang masuk," kata Nailul pada CNNIndonesia.com, Senin (3/11).
Nailul mengatakan maraknya pakaian bekas impor membuat industri lokal merana. Harga per satuan pakaian bekas impor dari Taiwan misalkan, hanya Rp1.700-2.000 per potong. Dengan memperhitungkan biaya lain-lain sebesar Rp2.000, maka harga pokok penjualan (HPP)-nya maksimal Rp4.000 per potong.
Jika dijual dengan harga Rp15 ribu saja, maka sudah untung besar. Sedangkan produksi baju di Indonesia sudah Rp90 ribu hingga Rp98 ribu per potong.
"Ya tidak bisa bersaing, industri kita semakin turun. Bagi saya, lebih baik menyelamatkan industri dalam negeri, dibandingkan pedagang pakaian bekas di Pasar Senen," katanya.
                    
                                                    Ekonom Bright Institute Andri Perdana mengatakan masalah utama pakaian impor bekas sulit diberantas karena penegakan hukum sendiri. Bea Cukai serta instansi aparatur negara seperti TNI dan Polri, juga harus berbenah.
Ia mengatakan dari sisi Bea Cukai sebenarnya sudah ada komitmen dari Purbaya selaku pimpinan untuk memberantas pakaian impor bekas. Pimpinan Polri dan TNI juga harus memiliki tekad yang sama.
"Artinya di penegakannya harus ada perubahan yang sistemis. Bagaimana mengawasi dari sisi penegakannya agar tidak ada yang sengaja diterlewatkan.Artinya dari TNI dan Polri yang harus menunjukkan bahwa harus ada perubahan dari atas," katanya.
Andri mengatakan penindakan baju impor bekas mamang akan membawa dampak buruk baik bagi konsumen maupun penjual. Namun, jika pakain bekas impor dibiarkan terus merajalela maka akan berdampak luas ke sektor tenaga kerja.
Pasalnya, industri tekstil dan pakaian tekstil (TPT) yang tidak mampu bersaing terpaksa harus melakukan PHK, padahal sektor ini bisa menyerap banyak tenaga kerja.
"Tidak hanya di sektor TPT tapi akhirnya akan berdampak ke sektor-sektor lain yang memerlukan tenaga kerja padat karya. Karena misalkan tadi dari TPT bisa menyerap, akhirnya tenaga kerjanya banyak mencari ke industri-industri lain yang juga kesulitan untuk menyerap seluruh tenaga kerja," katanya.
"Itu lah mengapa walaupun ada disebutkan akan ada dampak buruk yang dirasakan oleh konsumen karena tidak bisa lagi membeli baju dengan harga sangat murah, akhirnya yang paling dirugikan sebenarnya net effect-nya paling dirugikan adalah masyarakat Indonesia sendiri," sambungnya.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai masalah utama bukan semata pada lemahnya penegakan hukum, tapi lebih pada kompleksitas ekosistem perdagangan baju bekas.
Ia mengatakan impor baju bekas sudah menjadi bisnis dengan rantai pasok panjang dan berlapis, dari negara asal yang menyalurkan limbah tekstil, perusahaan forwarder di pelabuhan, hingga jaringan pedagang di pasar domestik. Masalah sistemik ini juga diperparah oleh tingginya permintaan masyarakat yang mencari barang murah dan tren "thrifting" yang sedang naik daun.
"Jadi, pemerintah menghadapi dua tantangan sekaligus, baik dari sisi suplai yang terorganisir maupun dari sisi permintaan yang kuat," katanya.
Ia mengatakan pemerintah perlu berpindah dari pendekatan represif ke pendekatan struktural dan pendekatan pasar. Ada beberapa terobosan yang realistis.
Pertama, mendorong substitusi domestik. Ronny mengatakan perlu ada ekosistem industri tekstil lokal yang mampu memproduksi pakaian berkualitas dengan harga terjangkau.
"Selama produk lokal kalah dalam harga dan desain, baju bekas akan tetap diminati," katanya.
Kedua, skema re-manufaktur atau daur ulang tekstil legal. Pemerintah katanya bisa mengembangkan industri "upcycling" dalam negeri yang memanfaatkan limbah tekstil lokal, bukan impor. Ini memberi solusi ekonomi dan solusi lingkungan sekaligus.
[Gambas:Photo CNN]
Ketiga, digitalisasi pengawasan logistik di pelabuhan, terutama terhadap kontainer dari negara-negara yang sering jadi sumber impor baju bekas seperti Singapura dan Malaysia. Keempat, edukasi konsumen dan insentif UMKM fesyen lokal, agar perilaku konsumsi beralih dari sekadar murah ke produk yang beretika dan berkelanjutan.
Ronny mengatakan pakaian impor bekas berdampak pada perekonomian di dua sisi. Di satu sisi, impor baju bekas menekan harga pakaian di pasar domestik dan membuka lapangan kerja informal di sektor distribusi dan perdagangan.
Namun, dari sisi makro dan industri, efeknya sangat destruktif, yakni menekan industri tekstil dan konveksi dalam negeri, yang kehilangan pangsa pasar dan sulit bersaing dari sisi harga.
" Lalu menggerus penerimaan negara karena sebagian besar transaksi terjadi di sektor informal dan tidak tercatat pajaknya," katanya.
Efek lainya, sambungnya, adalah menurunkan standar kesehatan dan lingkungan, karena banyak pakaian yang sebenarnya sudah tidak layak pakai, sehingga menjadi limbah baru di Indonesia. Jadi, dalam jangka panjang, impor baju bekas menimbulkan distorsi struktural dalam perekonomian dan memperlemah rantai industri kreatif nasional.
Ia mengatakan penindakan baju impor bekas pasti akan membuat pasar terguncang terutama pelaku usaha kecil di segmen thrifting yang menggantungkan hidup dari pasokan tersebut. Namun, bila penindakan disertai dengan transisi kebijakan yang adil, misalnya melalui program bantuan bagi UMKM tekstil dan pelatihan "upcycling", dampak buruk itu seharusnya bisa ditekan.
[Gambas:Video CNN]