Ekonom Bright Institute Andri Perdana mengatakan masalah utama pakaian impor bekas sulit diberantas karena penegakan hukum sendiri. Bea Cukai serta instansi aparatur negara seperti TNI dan Polri, juga harus berbenah.
Ia mengatakan dari sisi Bea Cukai sebenarnya sudah ada komitmen dari Purbaya selaku pimpinan untuk memberantas pakaian impor bekas. Pimpinan Polri dan TNI juga harus memiliki tekad yang sama.
"Artinya di penegakannya harus ada perubahan yang sistemis. Bagaimana mengawasi dari sisi penegakannya agar tidak ada yang sengaja diterlewatkan.Artinya dari TNI dan Polri yang harus menunjukkan bahwa harus ada perubahan dari atas," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andri mengatakan penindakan baju impor bekas mamang akan membawa dampak buruk baik bagi konsumen maupun penjual. Namun, jika pakain bekas impor dibiarkan terus merajalela maka akan berdampak luas ke sektor tenaga kerja.
Pasalnya, industri tekstil dan pakaian tekstil (TPT) yang tidak mampu bersaing terpaksa harus melakukan PHK, padahal sektor ini bisa menyerap banyak tenaga kerja.
"Tidak hanya di sektor TPT tapi akhirnya akan berdampak ke sektor-sektor lain yang memerlukan tenaga kerja padat karya. Karena misalkan tadi dari TPT bisa menyerap, akhirnya tenaga kerjanya banyak mencari ke industri-industri lain yang juga kesulitan untuk menyerap seluruh tenaga kerja," katanya.
"Itu lah mengapa walaupun ada disebutkan akan ada dampak buruk yang dirasakan oleh konsumen karena tidak bisa lagi membeli baju dengan harga sangat murah, akhirnya yang paling dirugikan sebenarnya net effect-nya paling dirugikan adalah masyarakat Indonesia sendiri," sambungnya.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai masalah utama bukan semata pada lemahnya penegakan hukum, tapi lebih pada kompleksitas ekosistem perdagangan baju bekas.
Ia mengatakan impor baju bekas sudah menjadi bisnis dengan rantai pasok panjang dan berlapis, dari negara asal yang menyalurkan limbah tekstil, perusahaan forwarder di pelabuhan, hingga jaringan pedagang di pasar domestik. Masalah sistemik ini juga diperparah oleh tingginya permintaan masyarakat yang mencari barang murah dan tren "thrifting" yang sedang naik daun.
"Jadi, pemerintah menghadapi dua tantangan sekaligus, baik dari sisi suplai yang terorganisir maupun dari sisi permintaan yang kuat," katanya.
Ia mengatakan pemerintah perlu berpindah dari pendekatan represif ke pendekatan struktural dan pendekatan pasar. Ada beberapa terobosan yang realistis.
Pertama, mendorong substitusi domestik. Ronny mengatakan perlu ada ekosistem industri tekstil lokal yang mampu memproduksi pakaian berkualitas dengan harga terjangkau.
"Selama produk lokal kalah dalam harga dan desain, baju bekas akan tetap diminati," katanya.
Kedua, skema re-manufaktur atau daur ulang tekstil legal. Pemerintah katanya bisa mengembangkan industri "upcycling" dalam negeri yang memanfaatkan limbah tekstil lokal, bukan impor. Ini memberi solusi ekonomi dan solusi lingkungan sekaligus.
Ketiga, digitalisasi pengawasan logistik di pelabuhan, terutama terhadap kontainer dari negara-negara yang sering jadi sumber impor baju bekas seperti Singapura dan Malaysia. Keempat, edukasi konsumen dan insentif UMKM fesyen lokal, agar perilaku konsumsi beralih dari sekadar murah ke produk yang beretika dan berkelanjutan.
Ronny mengatakan pakaian impor bekas berdampak pada perekonomian di dua sisi. Di satu sisi, impor baju bekas menekan harga pakaian di pasar domestik dan membuka lapangan kerja informal di sektor distribusi dan perdagangan.
Namun, dari sisi makro dan industri, efeknya sangat destruktif, yakni menekan industri tekstil dan konveksi dalam negeri, yang kehilangan pangsa pasar dan sulit bersaing dari sisi harga.
" Lalu menggerus penerimaan negara karena sebagian besar transaksi terjadi di sektor informal dan tidak tercatat pajaknya," katanya.
Efek lainya, sambungnya, adalah menurunkan standar kesehatan dan lingkungan, karena banyak pakaian yang sebenarnya sudah tidak layak pakai, sehingga menjadi limbah baru di Indonesia. Jadi, dalam jangka panjang, impor baju bekas menimbulkan distorsi struktural dalam perekonomian dan memperlemah rantai industri kreatif nasional.
Ia mengatakan penindakan baju impor bekas pasti akan membuat pasar terguncang terutama pelaku usaha kecil di segmen thrifting yang menggantungkan hidup dari pasokan tersebut. Namun, bila penindakan disertai dengan transisi kebijakan yang adil, misalnya melalui program bantuan bagi UMKM tekstil dan pelatihan "upcycling", dampak buruk itu seharusnya bisa ditekan.
(pta)