ANALISIS

Pembelian Rumah Lesu Meski Kebutuhan Hunian Masih Tinggi, Kok Bisa?

Lidya Julita Sembiring | CNN Indonesia
Jumat, 07 Nov 2025 07:25 WIB
Lesunya permintaan rumah mencerminkan ekosistem yang tidak solid, mulai dari pembiayaan hingga regulasi sehingga program perumahan rakyat tersendat.
Lesunya permintaan rumah mencerminkan ekosistem yang tidak solid, mulai dari pembiayaan hingga regulasi sehingga program perumahan rakyat tersendat. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Di tengah kebutuhan perumahan yang terus meningkat, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa justru mengungkapkan pembelian rumah menurun.

Menurutnya, permintaan terhadap rumah justru melemah, sehingga menyebabkan penyerapan dana pemerintah yang ditempatkan di Bank Tabungan Negara (BTN) masih rendah.

Berdasarkan datanya, penyerapan dana yang ditempatkan di Bank Tabungan Negara (BTN) sebesar Rp25 triliun sejak September 2025 baru terealisasi 19 persen saja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Alhamdulillah saya sebar di lima bank Rp200 triliun itu di Mandiri, BRI, BNI, BTN, BSI rata-rata penyerapannya sudah lumayan deh, kecuali BTN baru 19 persen, uangnya akan saya pindahkan ke tempat lain nanti," ujar Purbaya dalam Rapat Kerja dengan Komite IV DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (3/11).

Pernyataan Purbaya tersebut justru membuat bingung mengingat pemerintah beberapa kali menekankan backlog perumahan masih cukup tinggi di Tanah Air. Backlog perumahan adalah kesenjangan antara kebutuhan rumah dengan jumlah rumah yang tersedia dan layak huni di suatu wilayah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah diserahkan ke Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman, backlog perumahan mencapai 15 juta keluarga.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin kebutuhan begitu besar, tetapi permintaan pasar justru lesu? Apakah masyarakat sudah tidak ingin membeli rumah, atau justru tidak mampu lagi?

Praktisi Hukum Joni & Tanamas, Muhammad Joni menilai akar persoalannya terletak pada lemahnya ekosistem perumahan nasional. Masalahnya bukan karena masyarakat tidak butuh rumah, melainkan karena daya beli mereka terus tergerus.

"Ekosistemnya meleot, daya belinya menurun. Ada sebab akibat yang jelas di situ," ujar Joni kepada CNNIndonesia.com.

Ia menjelaskan melemahnya permintaan rumah merupakan cerminan dari ekosistem yang tidak solid, mulai dari pembiayaan, regulasi, hingga koordinasi antara pusat dan daerah yang belum berjalan optimal. Akibatnya, program perumahan rakyat berjalan tersendat.

Menurut Joni, pemerintah harus memulai pembenahan dari hulu, bukan sekadar menambal di hilir.

"Dari pemerintah dulu. Harus ada pembenahan ekosistem yang solid dan tangguh. Program tiga juta rumah, misalnya, jangan hanya jadi slogan," katanya.

Ia menilai peran pemerintah daerah (Pemda) juga harus diperkuat. Sebab, urusan perumahan rakyat kini menjadi kewenangan konkuren antara pusat dan daerah.

"Aktor pembangunan daerah, dalam hal ini Pemda, harus diperkuat. Pemda provinsi dan kabupaten/kota mesti benar-benar menjalankan perumahan MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) secara efektif," ujarnya.

Di sisi lain, Joni menekankan pentingnya aliran dana yang langsung menyentuh rakyat.

"Dana harus dialirkan ke rakyat, agar daya beli dan daya cicil ada. Misalnya lewat KUR perumahan, itu harus sampai ke MBR dan dipadukan dengan kebijakan serta program Pemda," imbuh Joni.

Insentif Saja Cukup, Reformasi!

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER