Menurut Ronny, tujuan lain dari perluasan cukai seharusnya bukan sekadar menambah penerimaan negara, tetapi juga mengubah perilaku konsumsi masyarakat. Karena itu, pemerintah bisa mengarahkan kebijakan ke barang-barang yang memiliki eksternalitas negatif terhadap kesehatan atau lingkungan.
"Kalau mau mendorong perilaku konsumsi yang lebih sehat, sebaiknya fokus ke produk seperti minuman berpemanis atau plastik sekali pakai. Barang-barang itu punya dampak lingkungan dan kesehatan yang jelas," kata Ronny.
Ia menilai produk-produk seperti itu lebih layak dikenai cukai karena memberikan manfaat ganda, baik dari sisi penerimaan maupun pengendalian perilaku konsumsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Cukai semestinya berfungsi sebagai alat pengendali, bukan sekadar alat pungut," terangnya.
Ronny tidak menampik arah kebijakan pemerintah untuk memperluas BKC sejatinya sejalan dengan semangat optimalisasi penerimaan fiskal. Hanya saja, presisi implementasi menjadi kunci agar kebijakan ini tidak menjadi bumerang.
"Kalau desainnya salah, yang kena bukan cuma masyarakat, tapi juga industri domestik dan pertumbuhan ekonomi. Kita belum sepenuhnya pulih dari tekanan global, jadi jangan sampai kebijakan fiskal justru menambah beban," tegas Ronny.
Sejalan, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai kajian barang tersebut harus sangat mendalam. Pengenaan cukai harus memiliki justifikasi yang kuat terkait dampak sosial atau lingkungan dari suatu produk.
"Cukai seharusnya tidak dipahami hanya sebagai cara menambah penerimaan negara. Prinsipnya adalah untuk mengatur perilaku konsumsi terhadap barang yang punya dampak negatif," ujar Yusuf.
Ia menegaskan pemerintah perlu membuktikan barang-barang seperti popok sekali pakai atau tisu basah memang menimbulkan biaya sosial atau lingkungan yang signifikan. Tanpa dasar kajian yang kuat, kebijakan ini bisa menimbulkan resistensi publik.
"Untuk popok sekali pakai misalnya, perlu analisis soal kontribusinya terhadap timbunan sampah dan kesiapan industri beralih ke alternatif ramah lingkungan. Kalau tidak siap, bisa-bisa beban justru jatuh ke konsumen," jelasnya.
Yusuf juga menyoroti potensi tambahan penerimaan dari kebijakan ini tidak otomatis besar. Begitu harga naik, konsumen cenderung mencari substitusi atau mengurangi pembelian.
"Artinya, hasil akhirnya sangat tergantung pada besaran tarif dan efektivitas pengawasan di lapangan," ujarnya.
Menurutnya, risiko kehilangan pendapatan negara justru bisa muncul jika konsumsi turun tajam atau pasar ilegal berkembang akibat kebijakan yang terlalu memberatkan.
"Kita tidak ingin kebijakan ini justru memunculkan ekonomi bayangan," kata Yusuf.
Pada akhirnya, penerapan cukai terhadap barang konsumsi harian memang bisa menjadi instrumen fiskal yang cerdas. Namun, tanpa desain yang tepat dan sensitivitas sosial yang tinggi, kebijakan itu bisa menimbulkan efek balik terhadap perekonomian.
"Cukai bukan semata soal uang masuk ke kas negara. Lebih dari itu, ia adalah soal arah kebijakan ekonomi, apakah ingin membangun masyarakat yang lebih sehat dan berkeadilan, atau sekadar menutup lubang fiskal," tegas Yusuf.
(pta)