Perusahaan Wajib Setor Laporan Keuangan ke Kemenkeu 2027, Perlukah?
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mewajibkan semua perusahaan mengirim laporan keuangan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai 2027.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2025 tentang Pelaporan Keuangan. Tujuannya untuk mendorong terbentuknya ekosistem pelaporan keuangan yang saling terhubung, terstandar, dan konsisten di seluruh sektor, sehingga kualitas data keuangan nasional diharapkan semakin meningkat.
"PP 43 Tahun 2025 dirancang untuk memperkuat fondasi tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel sehingga laporan keuangan yang dihasilkan dapat menjadi rujukan yang andal bagi pengambilan keputusan di tingkat korporasi maupun kebijakan publik," ujar Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Kemenkeu Masyita Crystallin, Senin (24/11).
Setoran laporan keuangan ini nantinya dilakukan melalui Platform Bersama Pelaporan Keuangan (PBPK) atau Financial Reporting Single Window (FRSW). Namun, kebijakan ini memantik perdebatan mengenai urgensi dan implikasinya bagi pelaku usaha.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai langkah tersebut pada dasarnya bertujuan menyelesaikan persoalan fragmentasi data yang selama ini menghambat perumusan kebijakan fiskal dan stabilitas sistemik.
Menurutnya, data keuangan perusahaan selama ini tersebar di banyak instansi dengan format berbeda-beda, sehingga sulit digunakan sebagai basis kebijakan yang presisi.
"Inti dari PBPK ini adalah standardisasi dan konsolidasi data. Pemerintah butuh 'single source of truth' untuk data keuangan perusahaan nasional," ujar Ronny kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Ronny, kondisi yang dihadapi pemerintah bukanlah data perusahaan yang berantakan, melainkan sistem pemerintah sendiri yang tidak terintegrasi.
Ia menyebutkan, perusahaan selama ini telah melapor keuangannya ke berbagai lembaga, seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan), DJP (Direktorat Jenderal Pajak), BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), hingga BPS (Badan Pusat Statistik). Namun, dokumen yang disampaikan memiliki standar berbeda mulai dari format sampai ke dalam data, sehingga menciptakan tumpang tindih proses administrasi.
Dalam konteks ini, menurut Ronny, PBPK lebih merupakan upaya pemerintah membereskan rumah tangganya sendiri alias masalah birokrasinya karena sistem yang tidak terintegrasi.
"Jadi PBPK ini dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah birokrasi pemerintah, bukan karena sektor swasta tidak rapi. Dalam konteks ini, pemerintah ingin menarik semua data tersebut ke satu platform supaya analisis ekonominya lebih kuat," jelasnya.
Secara teori, ia menilai konsolidasi data dapat meningkatkan presisi kebijakan fiskal. Pemerintah bisa mendeteksi lebih cepat tekanan ekonomi, potensi gagal bayar, perlambatan sektor, hingga gejolak arus kas industri.
"Pembenahan data akan membuat kebijakan fiskal lebih tepat sasaran, pengawasan atas risiko ekonomi lebih cepat, dan prediksi ekonomi lebih akurat. Jadi sebenarnya positif bagi stabilitas makro," katanya.
Kendati demikian, Ronny juga memperingatkan ada risiko overreach, yakni negara terlalu dalam masuk ke dapur finansial perusahaan. Tanpa batasan data yang jelas serta tata kelola (governance) yang kuat, langkah ini bisa dianggap sebagai bentuk kontrol berlebihan.
Selain itu, ia menyoroti risiko kebocoran data, mengingat rekam jejak keamanan siber pemerintah belum sepenuhnya meyakinkan. Risiko lainnya adalah biaya kepatuhan baru, terutama bagi usaha kecil dan menengah yang mungkin harus menyesuaikan sistem pelaporan mereka.
"Risiko kebocoran data juga tidak bisa diabaikan, mengingat rekam jejak keamanan siber pemerintah belum 100 persen meyakinkan. Selain itu, beban kepatuhan (compliance cost) bagi perusahaan kecil dan menengah harus diperhitungkan juga," terangnya.
Lihat Juga : |
Secara keseluruhan, Ronny menilai kebijakan ini masuk akal untuk memperbaiki kualitas data makro. Namun, implementasinya harus sangat berhati-hati, mulai dari jenis data yang dikumpulkan, pihak yang diberi akses, hingga jaminan kerahasiaan.
"Implementasinya harus hati-hati, data apa yang dikumpulkan, siapa mengaksesnya, seberapa jauh kerahasiaan dijamin, dan bagaimana memastikan ini tidak berubah menjadi instrumen kontrol pemerintah terhadap sektor swasta. Kalau governance-nya lemah, niat baik bisa berubah menjadi beban dan resistensi," tegasnya.
Bersambung ke halaman berikutnya...