PT Sultan Rafli Mandiri (SRM) mempertanyakan keberadaan aparat hukum TNI area tambang emas di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat yang diduga dikuasai secara ilegal.
Direktur PT SRM Li Changjin melontarkan pertanyaan tersebut menyusul dugaan penyerangan anggota TNI oleh belasan pekerja berkewarganegaraan China pada Minggu (14/12) lalu.
"Ada apa kok TNI ikut-ikutan menduduki tambang yang diduga dikuasai secara ilegal, saat kasusnya masih berperkara di PTUN dan berada dalam penyelidikan Bareskrim Polri," ujar Li Changjin melalui keterangan tertulisnya, Selasa (16/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, Li Changjin membenarkan ada warga negara asing (WNA) asal China sebagai staf teknis yang mengoperasikan drone di area tambang tersebut. Namun, perusahaan membantah pekerjanya melakukan penyerangan anggota TNI dari Batalyon Zeni Tempur 6/Satya Digdaya (Yonzipur 6/SD).
"Itu bukan area militer atau area yang dilarang. Kenapa tidak boleh menerbangkan drone di area tambang milik sendiri? Jadi ada pihak yang tidak suka, WNA yang mengoperasikan drone hingga akhirnya drone dan ponselnya disita," tegasnya.
Li Changjin menjelaskan perlengkapan staf teknis tersebut berupa drone dan ponsel disita serta hasil rekaman drone dihapus oleh pihak TNI, dan kemudian dikembalikan.
"Pada saat kejadian, staf teknis kita bahkan dalam kondisi ketakutan karena drone dan hp langsung disita sama mereka. Siapa yang tidak takut dengan tentara, tapi apa kepentingan mereka di sana? Kami juga tidak tahu," cerita Li Changjin.
Lebih lanjut, Li Changjin menegaskan Imran Kurniawan yang mengaku sebagai Chief Security PT SRM bukan pihak dari perusahaan. Imran dituding sebagai pihak tak bertanggung jawab yang ingin menguasai dan mengoperasikan fasilitas tambang emas tersebut.
"Imran Kurniawan dan komplotannya sedang didalami oleh Bareskrim Polri diduga melakukan pendudukan secara ilegal dengan membuat anggaran dasar palsu dan pendaftaran palsu di Ditjen AHU. Dia bukan staf dan petugas PT SRM," tambahnya.
Ia mengungkap WNA China tersebut sengaja diasingkan dan dihalangi oleh Imran untuk memasuki area perusahaan.
Lalu, Li Changjin juga membantah terkait tuduhan membawa senjata tajam, berupa airsoft gun dan alat setrum karena tidak ada bukti yang jelas.
"Staf SRM Tiongkok ini tidak pernah melakukan tindakan ilegal termasuk merusak mobil SUV dan tidak pernah membawa senjata ilegal," jelasnya.
Sebelumnya, TNI AD mengungkap kronologi penyerangan yang dilakukan oleh 15 Warga Negara Asing (WNA) asal China terhadap 4 anggota Batalyon Zipur 6/SD, di Ketapang, Kalimantan Barat.
Kapendam XII/Tanjungpura, Kolonel Inf Eko Wardono menyebut insiden ini terjadi pada Minggu (14/12) di PT SRM ketika sedang dilaksanakan Latihan Dalam Satuan.
Eko menjelaskan ketika itu anggota yang sedang latihan mendapatkan informasi dari pihak keamanan jika terlihat drone terbang di seputaran area latihan.
"Selanjutnya anggota melakukan pengejaran serta mendatangi lokasi orang yang mengoperasional drone, ternyata drone tersebut dioperasionalkan 4 orang WNA asal Beijing," jelasnya dalam keterangan tertulis, Selasa (16/12).
Ia mengatakan pada saat itu anggota berupaya meminta keterangan dari keempat WNA terkait alasan penerbangan drone. Akan tetapi, Eko menyebut secara tiba-tiba muncul 11 WNA lainnya dan langsung menyerang anggota dengan senjata tajam, airsoft gun dan alat setrum.
Eko menjelaskan dengan kondisi yang tidak seimbang, anggota tersebut langsung kembali ke area perusahaan untuk menghindari kemungkinan terburuk. Ia memastikan tidak ada korban jiwa maupun luka dari anggota TNI dalam insiden tersebut.
"Motif penyerangan dan penerbangan drone ini masih didalami. Kerugian materiil akibat penyerangan itu berupa kerusakan berat pada 1 unit Mobil Perusahaan jenis Hilux dan 1 unit sepeda motor vario milik karyawan PT SRM," pungkasnya.
(fln/sfr)