Jakarta, CNN Indonesia -- Penanganan pasien kanker, khususnya pada pasien anak, di Indonesia hingga saat ini masih diliputi banyak persoalan. Mulai dari penemuan kasus, pengobatan hingga layanan medisnya.
Padahal menurut Trevino A. Pakasi dari Divisi Kedokteran Keluarga, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia persoalan yang kompleks itu bisa dipangkas dari berbagai sisi.
“Pertama yang penting adalah menemukan kasus sedini mungkin, agar diterapi pada fase awal dan bisa sembuh,” kata Trevino pada CNN Indonesia, usai Simposium Tentang Perawatan Paliatif pada Pasien Kanker Anak, (20/8). Cara ini menurut Trevino lebih efektif daripada sekadar mencari penyebab kenapa anak mengidap kanker.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk menemukan kasus secara dini ini diperlukan peran dokter layanan primer dengan kemampuan yang memadai. Dalam hal ini adalah para dokter di tingkat Puskesmas. Trevino menyebutnya juga sebagai dokter keluarga.
“Mereka inilah yang menemukan sejak awal, memberi rujukan ke rumah sakit saat
treatment,” kata Trevino. Termasuk didalamnya mengkomunikasikannya pada pasien dan keluarga.
Kemudian, jika pasien pulang ke rumah setelah penanganan dan mengalami efek samping, dokter keluarga juga harus bisa menangani. Sehingga pasien tidak harus ke rumah sakit lagi untuk efek samping pengobatan ini.
Tak hanya sampai menangani, para dokter Puskesmas atau dokter keluarga ini diharapkan juga bisa menangani rehabilitasi pasien, bahkan juga terapi paliatif. “Meskipun terapi paliatif itu sifatnya sudah
end of life ya,” kata Trevino.
****
Trevino menyadari terminologi dokter keluarga ini memang belum menjadi isu nasional dan masih dibicarakan dalam diskusi-diskusi. Intinya adalah menyediakan dokter yang sudah diedukasi lebih lanjut untuk jadi dokter layanan primer, termasuk saat menangani pasien kanker.
“Karena kanker itu kan di masyarakat kita punya stigma yang pasti dianggap
bad news, kemampuan mengkomunikasikan ini yang harus dikuasai dokter,“ kata Trevino menjelaskan.
Menurut Trevino tiap pasien berhak atas layanan pencegahan hingga rehabilitasi atau paliatif. Apalagi kini ada Badan Pelayanan Jamunan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Jika dulu hanya yang punya uang bisa mendapat akses kesehatan. Semestinya sekarang dengan sistem ini semua bisa di-cover,” ujar Trevino.
Dia melanjutkan idealnya dengan sistem baru ini tidak lantas akan memunculkan anggapan beban para dokter jadi bertambah. Masalahnya anggapan muncul karena selama ini pelayanan konprehensif tidak dilakukan.
Trevino yakin dengan pembatasan jumlah pasien, jumlah kapitasi atau metode pembayaran layanan kesehatan dengan jumlah tetap per pasien, dan penambahan jumlah pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas akan membuat tenaga medis merasa jam kerjanya tidak bertambah.