Jakarta, CNN Indonesia -- Meski Ebola mewabah dan paling banyak merebut korban jiwa di benua Afrika, ternyata korban penyakit ini tak terbatas pada warga negara itu. Diantara korban bahkan ada yang merupakan warga Amerika Serikat.
Patrick Sawyer merupakan seorang Amerika yang pertama kali meninggal dalam kasus yang disebut sebagai, “Serangan virus Ebola paling mematikan dalam sejarah”.
Kematiannya menimbulkan kekhawatiran virus ini berpotensi menyebar ke Amerika Serikat. Patrick Sawyer (40), tumbang saat keluar dari pesawat di Nigeria. Dia tertular Ebola di Liberia, tempat ia bekerja sebagai pejabat dengan posisi tinggi di Kementerian Keuangan Liberia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sawyer yang berniat menghadiri konferensi di Lagos, Nigeria kemudian dirawat isolatif di rumah sakit di Nigeria pada 20 Juli. Ia meninggal lima hari kemudian. Sawyer, ayah tiga anak itu merupakan warga Coon Rapids, Minnesota, Amerika Serikat yang dinaturalisasi Liberia.
Sebelumnya, Sawyer diketahui merawat saudara perempuannya yang terkena Ebola, tetapi ia tidak tahu saudara perempuannya tersebut terkena Ebola.
“Orang-orang tidak terlalu memedulikan Ebola dengan serius sebelum Patrick terkena virus itu,” ujar Decontee Sawyer, istri Sawyer.
***
Sawyer bukan satu-satunya korban Ebola non Afrika. Ada pula Kent Brantly (33). seroang dokter residen di Monrovia, Liberia yang menangani pasien Ebola sejak Okober 2013.
Brantly sendiri berasal dari Fort Worth, Texas. Ia bekerja bersama Samaritan's Purse, sebuah badan bantuan internasional Kristiani. Ia adalah direktur medis di Ebola Consolidated Case Management Center di Monrovia.
Setelah dinyatakan positif terjangkiti virus Ebola, Brantly pun menjalani perawatan di Rumah Sakit ELWA.
Sebelumnya, Brantly dan keluarganya tinggal di Liberia. Kemudian menurut Centers for Disease Control and Prevention seperti dilaporkan CNN, mereka kembali ke Amerika Serikat (AS) sebelum Brantly menunjukkan gejala terjangkit virus ebola.
Bersamaan dengan serangan yang terjadi pada Brantly, teman satu timnya Nancy Writebol dari Charlotte, North Carolina juga terinfeksi. Writebol bekerja atas nama Serving in Mission, (SIM) bersama Samaritan's Purse untuk membantu mengobati pasien virus Ebola di Monrovia. Writebol saat ini juga menjalani perawatan.
***
Pada tanggal 22 Juli, Brantly bangun dalam keadaan demam, muntah-muntah dan diare. Takut akan kemungkinan terburuk, Brantly segera mengisolasi dirinya. Sementara gejala-gejala yang dialami Writebol dimulai tiga hari setelahnya.
Hasil tes darah menunjukkan Brantly dan kemudian juga Writebol telah terinfeksi virus Ebola. Banyak pihak meyakini Brantly dan Writebol terjangkit virus Ebola dari tenaga medis lainnya di rumah sakit tempat mereka bekerja.
Mereka saat ini menjalani terapi dengan obat eksperimental Zmapp yang dikembangkan oleh sebuah firma bioteknologi Mapp Biopharmaceutical Inc. San Diego.
Brantly telah diberitahu bahwa pengobatan tersebut belum pernah diujicobakan ke manusia, tetapi menunjukkan peluang yang positif saat uji coba kecil ke monyet.
Brantly dan Writebol sadar akan risiko yang akan ditempuh apabila mengambil tindakan perawatan yang baru dan kurang dipahami. Namun, mereka telah memberikan persetujuan, meski pada uji coba ke monyet diberikan diberikan dalam waktu 48 jam setelah terjangkiti. Sementara Brantly tidak menerima serum itu sampai sembilan hari setelah ia terjangkit virus.
Bahkan, Brantly meminta agar Writebol diberikan dosis pertama terlebih dahulu karena Writebol lebih muda darinya. “Aku punya kesempatan yang lebih besar untuk berjuang dari virus Ebola,” kata Brantly kepada orang dekatnya.
Writebol pun menyetujui idenya. Namun, ketika sebotol kecil serum masih dalam tahap pencairan, kondisi Brantly tiba-tiba ambruk.
Kondisi Brantly mulai memburuk dan mengalami kesulitan bernapas. Ia memberi tahu dokternya bahwa ia berpikir waktunya tidak lama lagi, menurut sebuah sumber yang mengetahui situasi itu.
Tahu bahwa dosisnya masih beku, Brantly menanyakan apakah ia bisa mendapatkan obat Writebol yang telah dicairkan. Obat itu kemudian dibawa ke ruangannya dan dimasukkan melalui infus.
Dalam waktu satu jam setelah menerima pengobatan, kondisi Brantly membaik secara drastis. Ia mulai bernapas dengan mudah, ruam di tubuhnya menghilang. Salah satu dokternya mendeskripsikan kejadian tersebut sebagai keajaiban.
Pada pagi selanjutnya, Brantly sudah bisa mandi sendiri sebelum naik jet ambulans Gulfstream yang didesain khusus untuk mengevakuasinya ke Amerika Serikat.
***
Sampai di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, Brantly kemudian menjalani perawatan di unit yang telah dirancang khusus. Ia kemudian dibawa ke Emory University Hospital.
Pesawat yang membawa Brantly dilengkapi dengan tenda portabel spesial yang dirancang untuk memindahkan pasien yang terinfeksi penyakit berbahaya yang mudah menular.
Amber Brantly, istri Kent, mengatakan ia tetap percaya dan berharap bahwa Kent dapat sembuh dari penyakit mematikan ini.
Namun tidak demikian halnya dengan pasien lain di rumah sakit tempat Brantly di rawat. “Saya agak khawatir,” ujar Jenny Kendrix (46) kepada Reuters ketika ditanya mengenai pasien virus Ebola yang dirawat di rumah sakit yang sama dengan suaminya yang sakit kanker. “Ada kekhawatiran virus ini akan menyebar.”
Namun, Ernie Surunis (52) yang berada di rumah sakit tersebut untuk konferensi farmasi mengatakan ia tidak merasa terganggu sama sekali. “Rumah sakit ini bagus,” katanya. “Saya senang pasien Ebola ini datang ke sini. Kita tidak bisa meninggalkan mereka meninggal di Afrika. Mereka ke sana untuk menolong orang lain.”
***
Ssbagai pekerja sosial Brantly sungguh berusaha menjawab panggilan hatinya. Sejak usia muda, Brant telah tergerak membuat perbedaan dengan melakukan misinya ke Uganda, Honduras, Nikaragua, Tanzania dan Haiti.
“Ia berniat menjadi seorang misioner sebelum memutuskan menjadi dokter,” ujar temannya, Kent Smith, seorang anggota pengurus gereja di Southside Church of Christ di Fort Worth, Texas.
“Pada akhirnya, ia memutuskan melakukan misi medis sesuai keinginannya.”
Brantly pergi ke Liberia dengan istri dan dua anaknya tahun lalu untuk melakukan pelayanan melalui program Samaritan's Purse.
Ia ke sana untuk mempraktikkan pengobatan umum. Namun, ketika virus Ebola mulai mewabah, ia mengambil peran sebagai direktur medis di Samaritan's Purse Ebola Consolidated Case Management Center di Monrovia.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa Brantly mau mengorbankan dirinya sendiri. Jawabannya mungkin sulit dimengerti oleh beberapa orang. Bekas profesor fakultas kedokteran menuliskannya di The Indianapolis Star.
“Sederhana saja, ia akan berkata bahwa ia memiliki panggilan untuk merawat pasien di Liberia,” tulis Richard Gunderman, sang profesor di koran tersebut.
“Semua orang di yang mengenal Kent tahu bahwa ia adalah orang yang sangat welas asih, perhatian, dan selalu bersemangat dengan semua yang dikerjakannya,” ujar Dr. Gary Green, direktur program Abilene Christian University tempat Brantly pernah sekolah.