Energi untuk Sumba

CNN Indonesia
Rabu, 10 Sep 2014 13:35 WIB
Sumba adalah pulau elok di Timur Indonesia. Ironisnya nirwana dengan sejuta potensi wisata tersebut masih sangat tertinggal.
Konferensi pers Ekspedisi Sumba (Karina Armandani/CNN Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sumba adalah pulau elok di Timur Indonesia. Ironisnya nirwana dengan sejuta potensi wisata tersebut masih sangat tertinggal. Tujuan petualangan banyak wisatawan itu merupakan pulau termiskin di kawasan Nusa Tenggara Timur.

Listrik belum mengalir di wilayah yang menghampar padang sabana luas tersebut. Tapi tak lama lagi, energi baru akan hadir di tanah tandus Sumba.

HIVOS organisasi non-pemerintah internasional yang bermarkas di The Hague, Belanda mengampanyekan hasil ekspedisi di Sumba.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ekspedisi ke-3 ini merupakan bagian dari misi Iconic Island Sumba untuk membawa energi terbarukan di pulau termiskin di kawasan Nusa Tenggara Timur tersebut.

Energi terbarukan (renewable energy) adalah energi yang berasal dari sumber-sumber lain seperti angin, matahari, air, gunung berapi, dan juga kotoran.

Dimulai dari tahun 2010 proyek ini bertujuan menghadirkan listrik di Sumba dengan menggunakan energi terbarukan. Baru 30 persen Sumba teraliri listrik oleh PLN. Maka itu, proyek ini diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat Sumba.

Tahun ini ekspedisi Sumba dilakukan pada 31 Agustus-6 September dengan mengirim tim yang terdiri dari 4 perwakilan dari Belanda dan 4 perwakilan dari Indonesia.

Tim ini tinggal, bekerjasama, dan mencari solusi membangun energi terbarukan bersama masyarakat setempat.

"Energi terbarukan yang digunakan di Sumba berasal dari energi angin, air, matahari, biogas, dan biomas (energi sampah). Untuk biotermal tidak bisa diterapkan karena tidak ada gunung berapi di Sumba," kata Dewi Suciati Communications Officer HIVOS di Grand Kemang Hotel, Jakarta Selatan (9/9).

Setiap tahunnya ekspedisi ini mengambil tema yang berbeda-beda, sesuai dengan energi terbarukan yang dibutuhkan masyarakat per tahunnya. Tahun ini HIVOS mengangkat tema biogas.

Kotoran yang membawa berkah

Kebanyakan masyarakat di Sumba masih bergantung pada kayu bakar untuk memasak. Selain asapnya yang mengganggu pernapasan dan dapat membuat mata perih, penggunaan kayu bakar membuat warga menebang pohon di hutan yang membuat hutan-hutan di Sumba semakin kering.

Sebagai solusi untuk mengganti kayu bakar HIVOS menghadirkan alternatif biogas yang dapat digunakan untuk memasak dan menerangi lampu-lampu gas. Biogas ditenagai oleh kotoran ternak yang dimasukan ke reaktor biogas yang diolah menjadi gas.

Diperlukan sekitar tiga hewan ternak dengan kotoran seberat sekitar 20 kilogram untuk memberikan gas yang dapat digunakan untuk tiga kali masak dan menerangi lampu gas yang dapat bertahan selama empat jam.

"Biasanya satu rumah hanya memasak satu kali dalam sehari, sehingga bagi rumah-rumah lain tidak perlu khawatir akan kehabisan gas," Shally Pristine, salah satu perwakilan untuk tim ekspedisi dari Indonesia mengungkapkan.

"Warga Sumba memiliki kebiasaan untuk melepaskan hewan ternaknya dan membiarkannya untuk cari makan sendiri, yang menjadi masalah adalah kotorannya tidak dapat langsung dan dapat dicemari lalat atau bakteri lainnya," Shally menerangkan.

Biogas ini biasanya digunakan untuk satu keluarga, namun bagi suatu komunitas yang tinggal berdekatan satu bio gas dapat digunakan untuk beberapa rumah.

Rintangan tradisi setempat

Bagi warga Sumba yang terletak di daerah terpencil dan sulit dijangkau orang luar tentunya tradisi dan budaya yang ada masih sangat kental di masyarakat.

Salah satunya agama Marapo yang dianut warga Sumba. Bagi agama ini api sangat esensial dalam keseharian mereka. Setiap harinya setiap keluarga akan menyalakan kayu bakar karena kepercayaan tersebut.

Api diartikan sebagai penghangat keluarga yang menjadi detak jantung rumah. Kehadiran biogas menimbulkan kekhawatiran akan adanya penolakan warga karena penggantian tradisi.

"Memang api itu seperti kewajiban bagi mereka, tetapi mereka sendiri juga sadar asap dari kayu bakar mengganggu mereka. Akhirnya mereka sendiri yang meminta kepada kita untuk dipasangkan bio gas," Dewi menjelaskan.

Sampai saat ini banyak warga yang telah merasakan manfaat program ini. Dewi menceritakan, warga Sumba dapat menenun 4-5 kain per hari setelah ada penerangan di rumahnya.

"Sebelumnya ia hanya dapat menenun 3 kain dalam sehari, setelah ada mikrohidro (pembangkit listrik tenaga air) rumah mereka sekarang dialiri listrik," jelasnya.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER