Jakarta, CNN Indonesia -- Dari belasan cabang industri kreatif yang kini ada di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), industri fesyen termasuk salah satu yang menonjol dan menghasilkan pendapatan negara.
Hal ini diakui oleh Sapta Nirwandar, Wakil Menteri Parekraf saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu. “Umpamanya produksi hijab,” kata Sapta saat ditemui CNN Indonesia. Dia menyebut produk fesyen berupa hijab jadi satu yang menarik dan bisa diunggulkan.
“Bahkan kota berharap Jakarta bisa jadi
trendsetter untuk baju muslim. Baju muslim kita sangat
colourful,
fashionable dibandingkan dengan yang lain, belum lagi perhiasannya,” kata Sapta membandingkan fesyen hijab produksi Indonesia dengan tanah asalnya di Timur Tengah yang biasanya didominasi warna gelap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berharap Jakarta menjadi ‘Paris’-nya hijab fesyen tentu saja memungkinkan. Hanya saja ternyata Indonesia juga memiliki sejumlah hambatan dalam bersaing di industri fesyen.
“Kita punya para perancang mode yang sangat kreatif. Kita mampu bersaing dengan perancang luar negeri, kita punya pabrik garmen dan tekstil yang besar. Yang tidak ada adalah sinergi,” kata Sjamsidar Isa, Ketua Dewan Pengurus IPMI (Ikatan Perancang Mode Indonesia) saat pertunjukan tren IPMI ke-29, Rabu (22/10).
 Peragaan busana pengantin muslimah karya Irna La Perle (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Menurut Tjammy, panggilan akrab Sjamsidar Isa, sinergi ini justru adalah kunci utama. Desainer fesyen sebagai kreator-nya, adalah yang punya inspirasi. Tapi ketika mereka mulai membuat
ready to wear, ternyata biaya produksinya sangat tinggi.
“Ini harusnya di
back-up. Dibuatkan pabrik garmen. Dulu pabrik garmen dan tekstil sangat sombong karena terima order dari luar negeri,” kata Tjammy.
Padahal, lanjut Tjammy lagi, pada akhirnya konsumen lebih banyak berpikir tentang apakah suatu pakaian enak dipakai dan harganya cocok tidak.
“Maka untuk memajukan industri fesyen harus ada komunikasi dan sinergi antar berbagai pihak. Ini yang kurang di Indonesia. Kalau sampai pasar bebas tahun depan kita kalah dengan desainer luar, mau bagaimana lagi,” kata Tjammy. “Saya sudah mengingatkan ini sejak 15 tahun lalu.”
Menghadapi pasar bebas 2015
 Fashion show Anne Avantie (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Tantangan pasar bebas tahun depan juga jadi keprihatinan perancang senior Didi Budiardjo. “Siap tidak siap tahun 2015 akan datang dan kita harus terus bekerja. Banyak yang harus diperbaiki. Karakter, sistem, dan ritme fesyen Indonesia sedang terbentuk sekarang,” kata Didi kepada CNN Indonesia, Rabu (22/10)
Didi melihat kebutuhan orang Indonesia akan fesyen sangat beragam. Daripada kebutuhan itu dijawab oleh desainer luar negeri, lebih baik kalau dijawab oleh desainer Indonesia. Meski memang, “Sejarah fesyen Indonesia masih singkat ya, “ kata Didi.
Saat ini Didi bersama Aida Nurmala terlibat dalam proses buku
Rembuk Kreatif untuk Presiden Jokowi. Buku ini nantinya berisi soal sinergi yang idealnya terbentuk antara pabrik garmen, pabrik tekstil, dan perancang.
Didi menambahkan pemerintah yang baru semestinya juga menata kembali regulasi di industri fesyen. Bagaimana bisa mendapatkan bahan-bahan baku fesyen dengan mudah dan harga yang bisa bersaing.
“Misalnya, kita boleh bangga batik adalah warisan Indonesia yang diakui UNESCO, tetapi apakah kita sadar bahwa batik 100 persen produksi Indonesia, atau tidak? Dari mana kainnya, warnanya, malamnya? Bagaimana batik dapat bersaing kalau semuanya impor?” kata Didi.
Atau ketika bicara tentang kain tenun. Penenun membutuhkan benang yang diimpor dari Tiongkok atau India. Bagaimana pajaknya supaya tidak memberatkan perajin.
“Itu kan akan berefek pada harganya. Kalau mau bersaing, ujung-ujungnya kalau usaha ritel pasti bicara soal biaya. Kalau bahan banyak impor, jadi sangat tinggi yah,” kata Didi.
Persaingan dengan produk luar bahkan di dalam negeri memang tak terhindarkan. Hal itu diakui pula oleh Tjammy. “Indonesia itu
biggest market buat fesyen. Itu kenapa sih
brand asing seperti
brand Italia pada buka toko di sini? Kok mau pada menoleh ke Indonesia?” kata Tjammy.
Tjammy memperhitungkan, biasanya merek-merek fesyen mahal tidak sampai mencari pasar sampai 10 persen di Indonesia. Tapi dengan berhasil mendapatkan pasar Indonesia, nilainya sangatlah besar. “Satu persen saja orang Indonesia yang belanja,” kata Tjammy.
Untuk menandinginya kata Tjammy mau tak mau perancang Indonesia harus memiliki kelas
ready to wear dalam karyanya. “Harus!
Brand-brand asing itu semua punya
second line, third line, duitnya bukan dari
first line,” ujar Tjammy menegaskan.