SERBA-SERBI KAUS BAND

Bergerilya Membangun Kaus Band

CNN Indonesia
Selasa, 04 Nov 2014 07:04 WIB
Berangkat dari ketertarikan akan musik, Stafianto Tri Yuniantoro dan Rama Yogaswara mendirikan toko Omuniuum dan Burnerock yang sama-sama berbasis di Bandung.
Poster langka di toko pernak-pernik band Burnerock, Bandung. (CNN Indonesia/Karina Armandani)
Jakarta, CNN Indonesia -- Berangkat dari ketertarikan akan musik, Stafianto Tri Yuniantoro dan Rama Yogaswara mendirikan toko Omuniuum dan Burnerock yang sama-sama berbasis di Bandung.

Keduanya sama-sama menjual kaus band. Namun yang berbeda adalah, jika Stafianto pemilik Omuniuum menjual kaus band dan cendera mata band lokal, Rama pemilik Burnerock menjual kaus band original yang berasal dari luar negeri.

Rama telah lama mengoleksi kaus band dan memiliki koleksi sebanyak 400 potong kaus vintage. Dia memutuskan untuk menjalankan hobinya sebagai mata pencaharian pada 2004.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Awalnya saya membuka toko di jalan Sultan Agung sampai 2009, tapi terkendala modal dan barang yang kurang lengkap sehingga saya putuskan untuk tutup dulu,” kata Rama.

Sejak tokonya ditutup di tahun 2009, Rama beralih ke bisnis lain yang dapat memberinya penghasilan yang lebih stabil dan lalu kembali lagi kepada hobinya. “Karena saya sendiri ingin kaus band yang saya jual itu lengkap, maka itu butuh modal untuk melengkapinya,” katanya menjelaskan.

Rama kembali membuka tokonya di jalan Bahureksa Nomor 20. Koleksinya yang didapatkan dari vendor-vendor di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan vendor-vendor di Eropa lainnya melengkapi koleksi kaus yang dia jual.

“Semua band itu pasti ada penggemarnya. Kalau ada orang yang datang ke toko dan menanyakan kaus band kesukaannya, tapi tidak ada, itu rasanya sedih,” kata Rama yang selalu mengupayakan kaus yang dijualnya lengkap.

Burnerock sendiri hanya menjual kaus band luar negeri saja. Pada dasarnya Rama sendiri senang mengoleksi kaus band luar dan dia juga melihat pasarnya sangat besar di Indonesia.

Dia juga mengaku tidak pernah menjual barang palsu atau pun berusaha memproduksi kaus sendiri karena kaus band adalah hal yang sangat sensitif dan berisiko.

“Biasanya yang mengoleksi kaus band itu adalah kelas menengah ke atas, sehingga mereka juga hanya mencari barang-barang yang asli. Mereka juga sudah tahu barang, jadi ada kaus keluaran Thailand yang sudah sangat bagus sablonnya pun mereka tahu itu palsu,” ujar Rama bercerita.

Berkiprah selama bertahun-tahun di bisnis kaus band, membuat para pelanggan meminta tolong kepada Rama untuk mencarikan koleksi-koleksi yang sangat sulit dicari.

“Pelanggan itu kadang minta disiapkan barang ini dan itu karena pada dasarnya mereka ingin tampil beda dan tidak pasaran. Kalau memang saya bisa akan saya upayakan apa keinginan pelanggan, tapi itu juga tidak pasti.”

Beberapa kejadian unik menghampiri Rama semasa dia bergelut di bisnis ini, misalnya ada penggemar fanatik Rolling Stone yang menggunakan pernak-pernik Rolling Stone dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Pernak-pernik Rolling Stone apa pun yang belum dimiliki, pasti akan mereka beli. Sampai motor pun dihiasi dengan pernak-pernik Rolling Stone,” ujarnya bercerita.

Menurut Rama hal terpenting bagi kolektor adalah memiliki barang yang tidak dimiliki orang lain dan sulit dicari. Beberapa koleksi kaus seperti kaus Rolling Stone yang sulit dicari dan keluaran 1973 dapat mencapai harga Rp 100 juta sampai Rp 200 juta, lalu Led Zeppelin yang bisa mencapai Rp 80 juta.

Untuk kaus band yang paling banyak dicari kebanyakan adalah band-band besar seperti Metallica, Led Zeppelin, Black Sabath, Rolling Stone, dan The Beatles.

“Dulu itu produksi kaus merchandise sangat terbatas produksinya, maka itu sangat sulit dicari saat ini. Untuk kolektor adalah kepuasan tersendiri untuk memiliki barang-barang langka,” Rama menjelaskan.

Di tokonya sendiri, di belakang kasir terdapat poster Soundgarden yang langka. “Poster ini sudah berkali-kali ditawar, bukan masalah uang  tetapi kelangkaannya. Kalau saya jual, dicari ke mana pun tidak ada gantinya,” kata Rama.

Menghidupkan band lokal

Berbeda dengan Burnerock yang menjual kaus band luar negeri, Omuniuum menjual merchandise band lokal termasuk CD, buku, pernak-pernik aksesori dan lain-lainnya. Toko yang berlokasi di jalan Ciumbuleuit Nomor 151 B di lantai 2, terletak di depan Universitas Katolik Parahyangan Bandung itu mulai dirintis sejak 2003.

Beranjak dari hobinya akan buku dan musik, Stafianto dan pasangannya memutuskan untuk menjadikan hobi mereka sebagai sumber penghasilan.

“Awalnya karena kami butuh usaha dan penghasilan, kami melihat apa yang kami sukai yaitu buku dan musik. Dari situ kami bergerilya mencari merchandise band lokal,” Stafianto menjelaskan.

Mulai berfokus pada cendera mata band pada 2008, Omuniuum juga memproduksi kaus sendiri dengan bekerja sama dengan band-band lokal. Untuk membuat suvenir band, Omuniuum harus mendapatkan persetujuan band yang bersangkutan.

Nantinya mereka akan membayar royalti pada band tersebut. Ilustrasi kaus menggunakan jasa ilustrator yang menggunakan gambar rancangan sendiri yang dibayar juga oleh Omuniuum.

Sejauh ini Stafianto mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan produksi suvenir band lokalnya sampai saat ini. “Kalau pun ada masalah misalnya ada gambar tiruan, saat ada yang melaporkan maka produknya akan kita tarik dari katalog. Kami akan meminta produsen untuk mengatasi masalah tersebut,” katanya menerangkan.

Omuniuum juga mendapatkan titipan cendera mata dari beberapa label produksi suvenir seperti BTMS yang menitipkan cendera mata kelompok band indie Efek Rumah Kaca. Lalu ada juga SRM dengan cendera mata band indie Sore.

“Di luar itu kami juga bekerja sama dengan label High Ocatene dan Merchcons yang menunjuk Omuniuum sebagai distributor yang juga bisa menjual secara wholesale.”

Bergelut di bisnis kaus band juga mengenalkan Stafianto kepada orang-orang baru industri musik. Dia kerap diajak terlibat di kegiatan band-band lokal. “Sayangnya banyak yang menganggap pekerjaan ini mudah, padahal kita juga bergerilya untuk mendidik dan menciptakan pasar demi menghidupkan band lokal,” kata Stafianto menjelaskan.

Pemilik toko yang berfokus pada band-band lokal ini mengatakan bahwa di Indonesia banyak potensi-potensi yang dapat dikembangkan. “Ngapain jauh-jauh liat band luar kalau banyak potensi lokal atau teman-teman yang main band di sini,” katanya.

Dia berharap agar band-band lokal dapat hidup dan menghidupi dari kegiatan yang mereka lakukan. “Apa yang Omuniuum kerjakan akan mati jika bandnya tidak produktif. Sebaliknya, kalau skema di luar panggung band mati maka band tersebut juga tidak punya penghasilan tambahan.”

Di Omuniuum, cendera mata The Sigit, Seringai, ERK, Sore, Komunal, Rajasinga dan banyak lainnya adalah salah satu kaus yang paling banyak dicari. Kaus-kaus band ini dijual dengan kisaran harga Rp 100 sampai 150 ribu.

Warna hitam yang identik

Jika kita melihat kaus-kaus band, hampir semua kaus band yang ada berwarna hitam. Mengapa demikian?

Menurut Rama yang menjual kaus-kaus band luar negeri, hal itu dikarenakan kebanyakan kaus band berasal dari band metal yang identik dengan warna hitam.

Namun saat ini, tidak hanya hitam sudah banyak kaus band memakai warna-warna selain hitam. “Bosan juga yah jika warnanya hitam saja, sekarang sudah mulai banyak warna lain,” kata Rama.

Berbeda dengan Rama, Stafianto berpendapat bahwa warna hitam adalah warna yang paling banyak dicari. Selain warna hitamnya, kaus band juga identik dengan sablonnya yang masih konvensional. Stafianto yang menjual dan juga memproduksi kaus band menggunakan sablon konvensional untuk mencetak gambar di atas kaus band.

Sebagai penjual, Rama juga mengakui bahwa hampir semua kaus band dari luar negeri juga menyatakan bahwa sebagian besar kaus band masih menggunakan tehnik sablon konvensional.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER