Jakarta, CNN Indonesia -- Menguasai suatu bahasa asing saja tidak cukup. Bahasa asing juga perlu dilatih dan dipraktikkan. Inilah yang membuat para pendiri Polyglot Indonesia merasa perlu mendirikan komunitas di mana sesama pengecap bahasa asing berguyub untuk mempraktikkan bahasa yang sudah dikuasainya.
Didirikan pada 2012 oleh tiga orang pendirinya Arra’di Nur Rizal (domisili Swedia), Monis Pandhu Hapsari (domisili Italia), dan Krisna Laurensius (yang saat itu berada di Korea Selatan), komunitas ini hadir sebagai wadah bagi para penggemar bahasa untuk berkumpul dan berlatih bersama.
Setahun berikutnya, mereka menggelar kegiatan pertama Language Exchange Meetup di Jakarta. Sampai saat ini, komunitas ini telah melangsungkan pertemuan mereka di enam kota: Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Banda Aceh, dan Semarang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di pertemuan yang berlangsung selama dua sampai tiga jam, para anggota Polyglot Indonesia dikelompokkan sesuai bahasa yang dikuasainya. Tiap kelompok mendiskusikan topik-topik tertentu yang dipandu oleh seorang koordinator bahasa.
“Sampai saat ini, ada kelompok bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Spanyol, Arab, dan Jepang. Tetapi tergantung permintaan para pesertanya sendiri, misalnya ada yang minta bahasa Korea maka digabungkan,” kata direktur eksekutif Polyglot Indonesia Mira Fitria Viennita Zakaria.
Koordinator bahasa bukan sembarang orang. Setidaknya dia menguasai tiga sampai empat bahasa tambahan di luar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. “Bahkan ada satu orang yang menguasai sebelas bahasa,” tambah Mira yang menguasai bahasa Inggris, Jerman, Perancis, dan mengerti bahasa Spanyol.
Sekalipun sudah mahir, menurut Mira, “pada dasarnya kemampuan menguasai bahasa asing perlu diolah terus, harus dilatih.” Kebetulan pekerjaan Mira menuntutnya untuk menggunakan bahasa Jerman, sehingga tetap bisa lancar.
Komunitas yang sudah menjadi organisasi nonprofit ini juga sering mengadakan pertemuan yang bersifat menyenangkan tapi produktif. “Kami sering berkumpul, misalnya di kafe, atau mengikuti acara menonton film di pusat kebudayaan. Selain berdiskusi kadang kami juga melakukan presentasi-presentasi,” Mira menjelaskan.
Terdapat tiga jenis kelompok yang dituju untuk bergabung dalam komunitas ini. Pertama, teman-teman yang pernah belajar bahasa di luar negeri agar bisa mempraktikkan bahasa yang pernah mereka kuasai.
Lalu, ada lagi orang asing yang ingin mempraktikkan bahasa Indonesia mereka. Dan orang-orang yang ingin atau sedang mempelajari bahasa asing dan mencari teman untuk lawan berbicara untuk berlatih.
Bagaimana pun sebagai manusia tentunya tidak ada yang sempurna, terkadang Mira sendiri bisa tertukar saat mempraktekan kemampuan bahasa asingnya. “Kadang, misalnya, saya sedang berbicara bahasa Jerman dan saya harus mencari bahasa Indonesianya, tapi untuk mencari makna dalam bahasa Indonesianya saya kadang harus mencari dari bahasa lainnya,” ia mengungkapkan.
Komunitas ini juga berkomunikasi dengan komunitas polyglot lain di berbagai negara. Sebagai sesama polyglot, mereka sama-sama merasakan pentingnya komunitas seperti ini untuk melatih bahasa yang sudah dikuasai.
Bahasa untuk Membuat NyamanBahasa adalah media penyambung antar manusia untuk berkomunikasi. Saat bertemu dengan orang yang menggunakan bahasa yang berbeda, di situlah kesadaran perlunya mempelajari bahasa asing muncul.
“Bahasa itu bisa membuat orang nyaman, apa lagi jika dengan orang asing. Saat kita berbicara dengan bahasa yang biasa mereka gunakan, mereka akan lebih bersahabat kepada kita,” kata Mira.
Salah satu anggota Polyglot Indonesia mengunggah video-nya sambil menyanyikan bahasa Bosnia dan pernah membuat negara di sana heboh. “Pernah sampai dijadikan berita karena ada yang menonton video itu,” cerita Mira yang menilai pentingnya bahasa untuk urusan diplomasi.
Polyglot Indonesia juga pernah melatih bahasa daerah, beberapa dari mereka pernah mempraktekkan bahasa Sunda, Jawa, juga Padang. Bahkan komunitas ini juga sering membuat video-video hasil perkumpulan mereka.
“Kami juga pernah sama-sama membuat jamu dan juga membuat video tentang bagaimana cara membuat kunyit asam,” cerita Mira yang meyakini kemampuan berbahasa asing sebagai peretas hambatan dalam berkomunikasi.
Selain berlatih bahasa, komunitas ini juga memperluas jaringan para anggotanya yang memiliki latar belakang beragam yaitu dari anak umur 10 tahun yang masih duduk di bangku 5 SD, siswa SMA, mahasiswa, sampai pada orang yang sudah bekerja. “Kami sama-sama menggunakan waktu sempit kami dengan produktif.”