Jakarta, CNN Indonesia -- Apa yang terjadi sekarang pasti ada hubungannya dengan masa lalu. Jika saja mau merunut ke belakang, pasti ada saja kejadian atau kebiasaan yang menuntun pada posisi kita berada saat ini.
Sejak umur tujuh tahun, Didiet Maulana, seorang desainer muda berbakat, sudah menyukai dunia fesyen. Kala itu, Didiet kecil sangat menyukai penampilan neneknya yang dinilai sangat
fashionable. Mulai dari mengenakan busana kasual, sampai berkebaya pun nenek Didiet selalu tampil gaya. Bahkan, neneknya kerap terpilih sebagai perempuan dengan busana terbaik dalam berbagai pertemuan Dharma Wanita yang diikutinya.
Awal mula kecintaan Didiet terhadap kain tradisional pun berkat sang nenek tercinta. "Dia yang mengajarkan saya bagaimana mencintai kain tradisional dan juga bagaimana merawatnya," kata Didiet bercerita pada CNN Indonesia, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kegemarannya terhadap fesyen disalurkan melalui menggambar. Didiet kecil memang suka sekali menggambar. Bahkan ia pernah mendapatkan juara dua dalam lomba menggambar tingkat DKI Jakarta yang diadakan di Lapangan Banteng, ketika usianya baru menginjak lima tahun. "Waktu itu saya gambar taman kota dengan ayunan, berbagai macam permainan di sana dengan latar belakang gedung," ujarnya.
Tak hanya menggambar, ia pun gemar melukis. Objek lukisannya kebanyakan pemandangan. Seiring berjalannya waktu, objek menggambar dan melukis Didiet pun berubah. Saat kelas enam SD, ia mulai menyukai menggambar manusia dengan berbagai busana yang dikenakan.
"Di rumah, ibu saya langganan majalah yang banyak fashion pages-nya. Tadinya saya belajar gambar orang, gimana sih gambar orang, posenya sampai akhirnya tertarik menggambar bajunya. Eh lucu ya kalau bajunya gini,” katanya bercerita.
Kegemaran dan kebiasaannya saat kecil ternyata mengantarkan Didiet pada posisinya sekarang ini. Kini, terhitung sudah tujuh tahun ia menggeluti dunia fesyen. Sempat bekerja sebagai
marketing communication untuk
brand fashion internasional ternama, kini Didiet pun sibuk mengurusi
brand fashion-nya sendiri, yaitu Ikat Indonesia, sejak empat tahun lalu.
Sebenarnya dulu Didiet pernah tercemplung dalam bidang lain yang tak ada kaitannya dengan fesyen, yaitu arsitektur. Didiet termasuk lulusan arsitektur yang banting stir kala itu. Meski menimba ilmu di bidang arsitektur, ia memilih untuk bekerja di media.
"Prosesnya kalau kata orang enggak nyambung. Tapi buat saya semua indah pada waktunya," ucap Didiet.
"Saya lulus kuliah dari arsitektur pengin cepat-cepat pindah ke Jakarta, dibuka lowongan kerja di media. Akhirnya saya kerja di media sebagai
talent artist relations. Saya berhubungan dengan banyak sekali artis dan mengenal mereka secara personal, bukan karena pekerjaan saja."
Setelah menjalankan pekerjaan sebagai
talent artist relations, sekitar tahun 2010 akhir ia dilanda kejenuhan yang teramat sangat dalam bekerja. Dan ia pun memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya itu.
"Waktu itu saya berpikir kenapa enggak ya saya bikin sesuatu yang
brand merupakan
brand saya sendiri, marketingin sendiri, desain sendiri, yang pakai kain tradisional Indonesia, di mana saya sudah terbiasa dengan kain-kain tersebut."
Didiet pun mulai meramu semua hal yang ia butuhkan untuk mewujudkan idenya tersebut. Tidak butuh waktu lama untuknya bisa mewujudkan mimpinya itu. Kurang dari satu tahun sejak ia memutuskan membuat
brand sendiri, akhirnya ia bisa mewujudkannya pada akhir tahun 2011 lalu.
Jalan Didiet mengembangkan
brand sendiri pun dipermudah dengan
link yang sudah ia bangun semenjak kerja di media. "
Network yang saya jalin dengan artis dan seleb ini ternyata mendukung saya ketika saya membutuhkan
supporter untuk mempromosikan brand saya," tukasnya.
Menggunakan kain tradisional dan memberdayakan pengrajin lokalMelalui
brand Ikat Indonesia miliknya, Didiet pun mengangkat kain tradisional Indonesia sebagai komponen utama
brand yang ia miliki.
Didiet memang bukan orang pertama yang melakukan ini, beberapa desainer senior lainnya pun sudah lebih dulu melakukannya. Tapi sebagai generasi muda, ia pun ingin merangkul generasi muda lainnya untuk mencintai kain tradisional Indonesia, seperti saat ia mencintai kain tradisional dulu.
"Desainer senior sudah banyak yang mengolah. Tapi mungkin pasarnya belum terlalu banyak menyasar generasi mudanya sehingga saya merasa perlu memunculkan kain tradisional Indonesia tapi ditujukan pada anak muda."
Awal Didiet membangun bisnisnya ini pun tidak mulus-mulus saja. Ia harus bisa mengatasi tantangan bahwa saat itu masyarakat Indonesia belum terbiasa memakai kain tradisional, apalagi tenun ikat yang diusungnya. "Harus bikin
awareness-nya dulu agar orang-orang merasa terbiasa dan merasa perlu untuk memakai tenun ikat," pungkasnya.
Keputusan untuk mengangkat fesyen kain tradisional membuat Didiet harus bisa merangkul pengrajin-pengrajin kain tradisional lokal yang memiliki potensi. Tentunya tidak mudah untuk melakukan hal ini. Tak jarang Didiet harus pergi ke pelosok daerah mencari pengrajin mana yang sesuai dengan karakteristik busana Didiet, juga visi dan misinya.
"Ada cerita menarik. Waktu itu sebenernya kami sama sekali enggak tahu daerahnya mana aja dan kami sama sekali enggak tahu lokasinya, tiba-tiba harus eksplor daerah tersebut sehingga kami benar-benar bermodalkan nekat dan keinginan tulus untuk mengolah. Karena kami yakin kalau ada niat baik pasti jalannya terbuka."
Ketika sampai di daerah pun ia tak langsung tunjuk satu pengrajin untuk mengerjakan kain pesanannya. Didiet pun harus bergaul dengan masyarakat sekitar agar bisa menyampaikan pemikirannya dan masyarakat setempat pun mau menerima pemikirannya.
"Saya harus bergaul dulu sama mereka sehingga mereka menjadi nyaman untuk bisa bekerja sama. Dan saya lihat juga karena masing-masing daerah kulturnya beda pendekatannya pun beda. Bagaimana caranya saya bisa memberikan pemikiran-pemikiran saya agar bisa diterima oleh mereka sehingga mereka tidak merasa terintimidasi ketika saya menelurkan sebuah ide sebagaimana halnya ketika sahabat berbagi."
Setelah memilih pengrajin yang cocok, Didiet pun lantas mengajaknya untuk mewujudkan karya bersama berupa koleksi busana. "Di situ kami kerja sama dengan mereka dan menjadi satu
team work untuk menghasilkan sebuah karya," tutur Didiet.
Meski tidak mengalami kesulitan yang berarti karena semua masyarakat terbuka dan mau menerima kehadirannya, perjalanan Didiet mencari pengrajin pun mengalami sedikit tantangan.
"Tantangannya adalah ada beberapa daerah yang usia penenunnya sudah sangat senior. Kualitas tenun mereka sangat kurang. Sampai akhirnya kita bekerja sama dengan pemuda di daerah tersebut bagaimana caranya kita merangsang anak-anak muda untuk kembali ke desanya untuk kembali menenun."
Tantangan itu pun ternyata justru bisa menimbulkan dampak yang lebih besar. Secara tidak langsung Didiet bisa menghidupkan potensi suatu daerah dengan mengajak pemudanya untuk bekerja sama.
Sampai saat ini, daerah pemasok kain-kain tradisional untuk Ikat Indonesia meliputi Klaten, Denpasar, Karang Asem, Sengkang, Sulawesi, Palembang, dan Padang, dengan kain tradisional khas daerah mereka masing-masing.
Untuk menjalin kominikasi agar tetap baik dan terorganisasi, Didiet pun sering berkunjung lansung ke daerah-daerah tempat pengrajin kainnya berada. Ia mengaku tidak ada jadwal khusus. Ia akan berangkat ketika dirasa perlu karena ternyata Didiet pun telah membekali mereka dengan teknologi untuk menjaga komunikasi.
"Karena sekarang kami sudah tahu dan mereka sudah tahu
taste-nya seperti apa jadi sekarang gampang tinggal telepon saja. Saya juga kirim email ke mereka tentang inspirasi warnanya saya mau seperti apa. Mereka kami bekali dengan teknologi," ujarnya.
Lagi-lagi, Didiet membawa perubahan yang berharga untuk masyarakat lokal. Pada beberapa daerah yang belum akrab dengan teknologi, Didiet mengajari mereka tentang teknologi informasi dan komunikasi.
"Ada beberapa tempat yang akhirnya kami ajari. Agar mereka bisa mengirimkan gambar-gambar hasil
project-nya lewat email dan media yang lain. Agar mereka lebih dekat secara teknologi juga," tuturnya.
Sambil menekuni kariernya dengan terus berkarya, Didiet Maulana masih punya mimpi lain yang sudah menunggu untuk seegera diwujudkan. Ia ingin kain tradisional dan brand-nya bisa diterima dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. "Saya juga ingin agar demam produk lokal ini enggak anget-angetan dan biar terus konsisten."
(mer/mer)