Benarkah Pengalaman Hidup Masa Lalu Menyebabkan Deja vu?

Windratie | CNN Indonesia
Selasa, 14 Apr 2015 13:22 WIB
Deja vu sangat sulit dipelajari karena terjadi singkat, tanpa pemberitahuan, hanya pada orang-orang tertentu, juga tanpa saksi atau bukti fisik lain.
Ilustrasi (Thinkstock/sebastian-julian)
Jakarta, CNN Indonesia -- Deja vu sangat sulit dipelajari karena terjadi singkat, tanpa pemberitahuan, hanya pada orang-orang tertentu, juga tanpa saksi atau bukti fisik lain. Itu sebabnya, hanya ada sedikit penelitian kuat dan penjelasan tentang deja vu.

Penelitian deja vu mesti bergantung pada deskripsi pribadi dan data dari ingatan. Selama dua abad lamanya, orang-orang mencoba mencari jawaban atas pengalaman deja vu. Dari filsuf, psikolog, sampai paranormal. Semua punya teori masing-masing.

Emile Boirac, seorang peneliti psikis Perancis, adalah orang pertama yang memakai istilah deja vu di dalam bukunya yang berjudul L'Avenir des Sciences Psychiques. Meski begitu, dia tidak meneliti fenomena ini secara mendalam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sigmun Freud berteori, pengalaman ini dihasilkan dari keinginan yang ditekan atau kenangan yang terkait dengan peristiwa yang membuat stres, yang tidak lagi bisa diakses sebagai memori biasa. Para ilmuwan menggunakan teori, yang disebut paramnesia ini, untuk menjelaskan deja vu pada abad ke-20.

Selama bertahun-tahun, banyak ilmuwan mengabaikan deja vu sepenuhnya karena kerap diasosiasikan dengan pengalaman hidup masa lalu, extrasensory perception (ESP), bahkan penculikan oleh alien. Asosiasi tersebut membuahkan stigma terhadap penelitian deja vu.

Baru-baru ini, para peneliti menyingkirkan asosiasi tersebut. Mereka mulai meletakkan teknologi pencitraan otak untuk meneliti. Dengan tegas menempatkan deja vu dalam studi tentang memori. Mereka berharap bisa menemukan banyak tentang bagaimana kenangan terbentuk, disimpan, dan diterima.

Dalam penelitiannya mereka menemukan, lobus temporal medial terlibat dalam memori sadar seseorang. Di dalam lobus temporal medial terdapat beberapa bagian, gyrus parahippocampal, korteks rhinal, dan amigdala.

Pada 1997, John D.E Gabrieli di Universitas Stanford menemukan, hippocampus memungkinkan seseorang mengingat peristiwa dengan sadar. Dia pun menemukan, gyrus parahippocampal memungkinkan seseorang menentukan apa yang familiar dan apa yang tidak, tanpa benar-benar mengambil memori khusus untuk melakukannya.

Kendati sekitar 60 persen orang mengaku mereka telah mengalami deja vu, rata-rata tertinggi orang yang mengalaminya berusia antara 15 dan 25 tahun. Usia lebih tua dari itu bervariasi menurut para peneliti. Namun, sebagian besar sepaham jika pengalaman deja vu seseorang menurun seiring usia bertambah.

Ada juga beberapa situasi yang dilaporkan lebih tinggi mengalami deja vu. Yaitu, pada orang-orang yang memiliki pendapatan lebih tinggi, mereka yang cenderung bepergian lebih sering, dan mereka yang tingkat pendidikannya lebih tinggi.

Imajinasi aktif dan kemampuan mengingat mimpi juga merupakan kesamaan sifat di antara orang-orang yang melaporkan pengalaman deja vu.

Beberapa peneliti melaporkan, semakin stres dan lelah seseorang, maka semakin besar kemungkinan dia mengalami deja vu. Peneliti lain justru melihat sebaliknya. Mereka melaporkan, semakin segar dan santai seseorang, semakin besar kemungkinan dia mengalami deja vu.

Temuan lain melaporkan, semakin berpikiran terbuka pikiran atau politik liberal seseorang, semakin besar kemungkinannya mengalami deja vu.

Psikiater Belanda, Hermon Sno, mengusulkan gagasan bahwa kenangan diibaratkan seperti hologram. Artinya, seseorang dapat menciptakan kembali gambar seluruh gambar tiga dimensi dari setiap keseluruhan fragmen. Semakin kecil fragmen, semakin tidak jelas gambar utamanya.

Teori lain didasarkan pada cara otak memproses informasi baru, serta bagaimana menyimpan kenangan jangka panjang dan jangka pendek. Robert Efron mengujinya ide tersebut pada Rumah Sakit Veteran di Boston pada 1963, dan jadi teori valid sampai hari ini.

Dia mengusulkan, respons neurologis tertentu menyebabkan deja vu. Karena, informasi memasuki pusat pengolahan otak melalu lebih dari satu jalur. Ada kemungkinan jika terkadang pencampuran informasi tidak menyingkron dengan benar.

Dia menemukan, lobus temporal di otak kiri bertanggungjawab untuk memilah informasi yang masuk.

(win/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER