Cerita Selembar Kain Tenun dari Penenun Asli Sambas

Christina Andhika Setyanti | CNN Indonesia
Rabu, 06 Mei 2015 17:32 WIB
"Jadi jangan cuma bisa teriak-teriak doang kalau budayanya diambil bangsa lain tapi tidak ada upaya mempertahankannya," kata Oke Rajasa.
Kain tenun sambas (Christina Andhika Setyanti/CNN Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hasimah baru datang dua hari lalu ke Jakarta. Perempuan berhijab ini adalah penduduk asli dari Sambas, Kalimantan Barat. Kedatangannya ke Jakarta bertujuan untuk memperkenalkan tenun asli dari tanah kelahirannya, Sambas dalam festival Tumpahan Sallok Sambas.

Di sudut restoran, ia duduk santai di depan alat tenun kayu tradisionalnya. Dengan bertelanjang kaki, ia menggerakkan kayu-kayu di alat tenunnya. Tangannya dengan sigap dan cepat memasukkan benang emas dan lungsin lalu menggerakkan sisir besi  untuk mulai merangkai benang ini jadi satu lembar selendang bermotif indah.

"Sudah sejak dulu saya menenun kain," katanya membuka percakapan dengan CNN Indonesia di Kembang Goela, Jakarta, Selasa (5/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan ramah ia pun menjelaskan proses dan cara membuat kain tenun. "Awalnya ini diikat-ikat dulu untuk membentuk motif tenunan. Setelah itu benang emas dimasukkan ke sela-sela benang lalu sisir besinya dirapatkan sambil kakinya menarik kayu di bawah," ucap Hasimah menjelaskan.

Meski setiap tamu yang datang menghampirinya menanyakan hal yang sama, dengan ramah ia kembali menjelaskannya. Ia pun juga senang menjelaskan proses dan bersedia mengajari seorang perempuan yang berasal dari Milan, Italia yang ingin menjajal mesin tenunnya.

Namun membuat tenun tidaklah semudah kelihatannya. Menenun bukan hanya soal memasukkan benang emas ke dalam benang lainnya. Menenun juga butuh teknik, ketelatenan, ketelitian dan kesabaran ekstra.

Proses produksi

Untuk membuat satu helai selendang tenun, ia membutuhkan waktu 20 hari. "Ini untuk selendang dua meter saja," katanya. Sedang untuk membuat satu lembar kain tenun yang lebar, ia membutuhkan waktu sekitar satu bulan lamanya.

"Ini kalau dikerjakan setiap hari. Ya paling sehari sekitar lima jam (menenun)."

Proses pembuatan kain ini terpusat pada motifnya. Motif kain yang dibuat masing-masing penenun ini biasanya berpusat pada semua yang ada di sekitarnya. Namun yang paling populer, cerita Hasimah, adalah motif bunga-bungaan. Motif bunga yang dipilih adalah rantai mawar, bunga ketunjung, sawah malako dan bunga manggar kelapa.

Untuk menenun, ia dan penenun lainnya menggunakan benang katun dan benang emas. Hasimah bercerita, dulunya para penenun di Sambas menggunakan benang poliester untuk kain tenunannya. "Kalau pakai poliester, mutu kainnya jadi kurang bagus dan panas," ucapnya.

Selain katun, mereka juga membuat kain tenun dengan menggunakan benang sutra. Jenis kain tenun sutra adalah kain yang punya harga jual paling mahal.

Setelah jadi, kain tenun ini dijual ke organisasi pencinta tenun, salah satunya Cita Tenun Indonesia untuk dipasarkan kembali. Untuk satu kain tenun, setiap penenun akan mendapatkan bagian 40 persen dari keuntungan penjualan.

"Fungsi CTI di sini adalah untuk menciptakan kestabilan harga jual tenun di seluruh Indonesia. Selain itu tujuannya juga untuk membantu menciptakan lapangan kerja," kata Oke Rajasa, ketua Cita Tenun Indonesia.

Upaya ini, dikatakan Oke, cukup berhasil. Kini penenun kain Sambas sudah mulai banyak. Bukan hanya orang tua saja tapi juga remaja putri sudah mulai menggeluti bidang ini. "Karena ada yang nampung hasilnya dan ada gajinya makanya anak-anak muda juga mau ikut menenun," ucap Oke.

"Sekarang ini remaja putri yang sudah tamat sekolah sudah dibekali ilmu menenun secara turun-temurun," kata Hasimah.

Regenerasi kemampuan menenun ini diakui akan sangat membantu pelestarian kain tenun Sambas.

"Mereka tidak lagi bekerja di negara orang. Dulunya, banyak dari mereka yang bekerja di Brunei dan Malaysia. Pekerjaan mereka ya menenun," kata Oke berkisah. "Dulu mereka bekerja di negara orang dengan gaji sekitar Rp 1,8 juta per bulan. Itu 3-4 tahun lalu."

Mereka dulunya, masih cerita Oke, diharuskan bekerja lebih dari delapan jam sehari. Hal ini bahkan menyebabkan beberapa pekerja tenun mengalami kerusakan mata.

"Kita harus lebih peka dengan hal seperti ini. Khususnya dengan orang, adat, budaya, dan kekayaan yang dimiliki di daerah perbatasan," ucapnya.  "Jadi jangan cuma bisa teriak-teriak doang kalau budayanya diambil bangsa lain tapi tidak ada upaya mempertahankannya."

(chs/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER