Beda Gaya Desainer Indonesia Melestarikan Kain Tradisional

Christina Andhika Setyanti, Tri Wahyuni | CNN Indonesia
Senin, 11 Mei 2015 14:14 WIB
Saat ini, hampir semua desainer nyatanya memiliki koleksi busana yang terbuat dari wastra tradisional, entah batik, tenun, ikat, songket atau lainnya.
Kain sulam Tapis dari Lampung (Tri Wahyuni/CNN Indonesia).
Jakarta, CNN Indonesia -- Memilih menggunakan kain tradisional untuk busana-busana yang ia buat ternyata merupakan salah satu bentuk kecintaan Musa Widyatmodjo terhadap budaya bangsa.

"Inilah bukti saya tidak main-main dalam budaya. Saya terus membawa ke dalam industri komersial," kata Musa dalam acara konferensi pers peluncuran koleksi busana prianya di kawasan Cikini, Jakarta.

Penggunaan kain tradisional oleh Musa pun tak mau dilakukan sembarangan. Ia ingin kain yang digunakan benar-benar berkualitas, langsung dari pengrajin aslinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia juga mengaku tak mau menggunakan teknik print untuk mendapatkan motif kain tradisionalnya. Walaupun sebenarnya mengolah kain tradisional asli dan memadukannya, tidaklah mudah.

Saking seriusnya Musa menggarap kain tradisional untuk diolah menjadi busana, sampai-sampai ia sangat selektif dalam menilih pengrajin kain.

"Saya harus tahu latar belakangnya. Sejarahnya kenapa dia buat kain, kenapa mereka menenun, dari mana asalnya," ujar Musa.

Tak jarang ia harus berpindah dari satu pengrajin ke pengrajin lainnya untuk mendapatkan yang benar-benar cocok dengan apa yang dicari.

Ketika sudah mendapatkan pengrajin kain tradisional, Musa juga tetap mempertahankan keaslian hasil karya mereka. Tidak serta merta meminta motif ini itu dengan warna yang ia mau, Musa mengaku sama sekali tak melakukannya. "Saya tidak mau merubah kehidupan mereka."

Mungkin hal inilah yang membuat banyak pengrajin mencarinya. Musa bercerita, mereka selalu mencarinya dan minta untuk dibantu serta diarahkan.

"Mereka selalu bilang minta dibantu, minta diarahkan, minta didukung produknya. Tapi kalau setiap pengrajin yang datang saya beli, saya simpan, akhirnya saya jadi kolektor," kata kata lulusan Drexel University Philadelphia itu.

"Mungkin kalau uang saya banyak bisa. Tapi uang saya saja pas-pasan," katanya.

Demi tetap melestarikan kain tradisional ia akhirnya membantu para pengrajin. Salah satunya para pengrajin di Sumatera Barat. Ia mengaplikasikan sulaman Sumatera Barat ini ke baju kurung yang dibuatnya.  

"Teknik sulam ini kalau kita tidak pakai maka akan mati," ujarnya menjelaskan.

Menurut Musa, jika wastra tak pernah digunakan lagi, lama kelamaan setiap daerah akan kehilangan kain tradisionalnya. Sebab, arus modernisasi yang begitu deras akan terus menghilang jika tak pintar-pintar menyelipkan wastra di antaranya.

Beda gaya upaya pelestarian

Musa bukan desainer satu-satunya yang tergerak untuk menggunakan wastra atau kekayaan Indonesia lainnya. Saat ini, hampir semua desainer nyatanya memiliki koleksi busana yang terbuat dari wastra tradisional, entah batik, tenun, ikat, songket atau lainnya.

Masing-masing mereka memiliki cara dan upayanya sendiri untuk mengolah wastra tradisional. Jika Musa harus memilih dengan selektif pengrajin kainnya, maka tak semua desainer punya cara yang sama.

Beberapa desainer lain misalnya, Auguste Soesastro contohnya. Ia memilih untuk mengolah kain tradisional yang berhiaskan tenun Sambas dengan gayanya. Ia ingin ikut terlibat lebih jauh dengan pengrajin, dari pemilihan benang, warna kain sampai motif kainnya.

Dengan demikian, desainer juga bisa lebih puas berkarya dan total mengembangkan kain tradisional. Ketua Cita Tenun Indonesia, Oke Rajasa yang ditemui saat festival Sambas di Jakarta beberapa waktu lalu juga mengatakan, bahwa pemilihan warna, motif dan benang yang dimodifikasi oleh desainer ini adalah salah satu bentuk pelestarian teknik pembuatan kain agar bisa beradaptasi sesuai dengan perkembangan zaman.

Meski demikian, ia juga setuju kalau motif dan gaya asli harus tetap diturunkan dari generasi ke generasi.

Desainer lainnya, Itang Yunasz mengaku kalau dia lebih memilih menggunakan teknik print dan modifikasi motif dari kain tradisional. Selain untuk menekan harga produksi, sehingga pasarnya lebih luas, Itang beralasan kalau memotong kain tradisional, seperti songket sangat disayangkan.

"Sangat disayangkan kalau songket dipotong. Songket itu kan masterpiece," ujarnya. Dengan menerapkan printing motifnya pada bahan lain, menurut Itang ia bisa mengangkat budaya Indonesia supaya bisa dipakai oleh semua lapisan. Karena harga kain tradisional sebenarnya sangatlah mahal.

Modifikasi motif juga sering dilakukan banyak desainer dengan tujuan untuk menghindari adanya degradasi atau kesalahpahaman makna dari kain tradisional. "Sebelum mengolah kain tradisional dengan motif asli, desainer juga harus belajar dan paham tentang arti motifnya. Nanti salah olah malah jadi salah paham budaya. Inilah yang menyebabkan desainer jadi 'lebih aman' untuk melakukan modifikasi motif," ucap Oke Rajasa. (chs/utw)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER