Penelantar Anak Bisa Jadi Mengalami Penelantaran Saat Kecil

Windratie | CNN Indonesia
Jumat, 15 Mei 2015 17:59 WIB
Kasus penelantaran anak yang dilakukan oleh pasangan Utomo dan Nurindra di Cibubur tengah menarik perhatian publik.
Ilustrasi (Thinkstock/Arvydas Kniuk?ta)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus penelantaran anak yang dilakukan oleh pasangan Utomo dan Nurindra di Cibubur tengah menarik perhatian publik. Pasangan ini diduga menelantarkan AD (8) serta keempat anak kandungnya.

Berdasarkan laporan dari KPAI, AD tidak diizinkan masuk ke dalam rumahnya selama satu bulan. Bocah itu pun terpaksa tinggal di Pos Satpam di kompleks perumahannya. Tak pelak kondisi yang dialami oleh AD membuat sejumlah tetangga prihatin.

Psikolog Melissa Grace, associate psychologist dari Personal Growth menanggapi dengan sangat hati-hati masalah ini. Menurutnya kasus ini bisa berbeda dengan fakta yang sebenarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kita harus bertemu dengan orang tua untuk melakukan pengembangan psikologi,” kata Mellissa saat dihubungi CNN Indonesia pada Jumat (15/5).

Mellissa mengatakan, “Saya tidak melihat ini sebagai pendisiplinan, tetapi lebih kepada penelantaran anak. Tapi akan jauh lebih bijak jika dari orang tuanya langsung.”

Saat ini, kelima anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya itu ditempatkan di rumah aman Komisi Perlindungan Anaki Indonesia (KPAI).

Padahal semestinya, menurut Mellissa, anak usia delapan tahun masih berada dalam tahapan perkembangan yang seharusnya masih di bawah supervisi orang tua.

“Kegiatan apa pun yang dia lakukan, di sekolah ataupun di rumah, masih butuh supervisi orang tua atau adult, orang dewasa,” katanya.

Apa yang dilakukan oleh pasangan Utomo dan Nurindra, sejauh dari pantauan Mellissa di media massa adalah bentuk child neglect, atau penelantaran anak, bukan pendisiplinan anak. Menurut Mellissa, pendisiplinan anak tergantung pada fase kebutuhan masing-masing.

“Tugas orang tua adalah untuk menstimulasi anak agar mereka dapat tumbuh dengan maksimal. Jika hal seperti kasus ini terjadi pada anak berusia lima tahun, maka ini adalah child neglect.”

Berbeda halnya, jika hal seperti ini terjadi pada anak berusia remaja dewasa. “Beda jika ini diberikan kepada anak 25 tahun untuk mendisiplinkan mereka, misalnya agar mereka cari uang sendiri, hal seperti ini sudah memungkinkan untuk diberikan.”

Mendisiplinkan anak sangat tergantung pada kebutuhan anak di fase perkembangan masing-masing. “Kita harus melihat perkembangannya, karena untuk anak kembar sekalipun kebutuhannya akan berbeda.”

Sangat banyak assessment yang perlu dilakukan, “Kita tidak bisa judging,” kata Mellissa. Menurutnya, harus dilihat bagaimana masa kecil orang tua.

“Kemungkinan orang tua melakukan penelantaran anak dibentuk dari pola asuh yang sama, sehingga they don't know how to parent. Itu termanifestasi ketika mereka dewasa.”

Tanggung jawab orang tua tidak semata materi, tetapi juga tanggung jawab emosi dan sosial, kata Mellissa melanjutkan.

Dilansir dari laman detikcom, kondisi psikisis kakak perempuan D saat ini mengalami trauma yang cukup dalam. Dia kerap murung dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun, berdasarkan keterangan dari Sekjen KPAI, Erlinda di Polda Metro Jaya.

Kondisi traumatis seperti yang dialami oleh anak tersebut membutuhkan pendampingan psikologis. “Orang tua seharusnya menjadi sumber rasa aman dan nyaman. Kelima anak ini tidak merasakan rasa aman dan nyaman tersebut,” ucap psikolog dari lembaga Personal Growth tersebut.

Meski begitu, pencabutan opsi hak asuh harus jadi opsi paling terakhir, kata Mellissa melanjutkan. “Anak tetap butuh figur orang tua. Emotional bonding seorang anak berbeda terhadap orang lain.” Treatment psikologis harus dilakukan, tidak hanya kepada anak tetapi juga orang tua. “Bisa jadi mereka clueless, parenting is skill and art,” kata Mellissa mengakhiri.


(win/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER