Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus mewabahnya MERS (Middle East Respiratory Syndrome) di Korea Selatan membuat para ahli terkejut. Pasalnya, virus yang dikenal sebagai sindrom pernapasan Timur Tengah tersebut diketahui tidak merebak dengan mudah di antara manusia dan Korea Selatan memiliki sistem kesehatan yang baik.
Namun, nyatanya MERS sudah menewaskan empat orang di Negeri Ginseng, menulari 41 orang lainnya, dan lebih dari 1.600 orang dikarantina. Lebih dari 1.100 sekolah pun diliburkan untuk mencegah penularan. Kepanikan warga sudah terjadi dan belum dapat dikendalikan.
“Ada dua hal yang lebih mengkhawatirkan sehubungan kasus ketiga yang meninggal ini,” tulis Tjandra Yoga Aditama, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI, dalam keterangan tertulis yang diterima CNN Indonesia, Jumat (5/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, karena korban tertular di rumah sakit. Artinya, program pengendalian infeksi di rumah sakit tidak berjalan baik. Hal ini juga ditunjukkan dengan makin banyaknya dokter dan petugas kesehatan yang tertular MERS di Korsel sekarang ini.
“Kalau saja sampai dokter atau petugas kesehatan takut tertular, maka tentu akan menimbulkan masalah baru yang lebih serius lagi,” kata Tjandra.
Kekhawatiran kedua adalah karena kasus yang meninggal ini tidak tertular dari kasus pertama di Korsel. Korban tertular dari pasien lain, artinya tergolong kasus generasi ke-3 yang jatuh sakit, yang tidak pernah bertemu dengan kasus pertama.
“Mudahnya, kalau pasien pertama di sebut pasien A, lalu menulari ke pasien B (bisa puluhan orang seperti ini di Korea), dan B lalu menulari lagi pasien C, inilah generasi ketiga,” ujar Tjandra, yang juga merupakan anggota WHO Emergency Committe on MERS-CoV.
Jika pasien C menulari pasien D (atau pasien C makin banyak, sekarang sudah tujuh orang di Korsel), maka itu adalah salah satu indikator sudah ada tidaknya Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), yang merupakan salah satu parameter terjadinya pandemi dan tentu mengkhawatirkan dunia.
“Tentu kita perlu perhatikan bagaimana perkembangan hari-hari ke depan, bisa membaik, menetap atau memburuk,” ujarnya.
Dijelaskan Tjandra, istilah PHEIC tercantum dalam International Health Regulation (IHR), dan ditentukan oleh Dirjen Badan Kesehatan Dunia (WHO) berdasarkan analisa suatu badan yang disebut Emergency Committee yang terdiri dari 17 pakar dunia.
“Committee ini akan melakukan teleconference dalam beberapa hari ke depan ini, untuk kemudian menentukan sikap dunia dalam menghadapi MERS-CoV di Korea Selatan sekarang ini.”
Menurut Tjandra, sejauh ini di dunia memang belum pernah ada penularan luas MERS di masyarakat. Perkembangan di Korea Selatan sedang diamati ketat untuk menilai ada tidaknya pola baru dalam penularan.
“Kalau ada perubahan pola penularan maka itu dapat menjadi salah satu indikator sudah ada tidaknya Public Health Emergency of International Conference (PHEIC), yang merupakan salah satu parameter terjadinya pandemi,” katanya.
(mer)