Jakarta, CNN Indonesia -- Salah satu inisiatif untuk mengidentifikasi masalah wabah yang kemungkinan mendunia di WHO adalah Badan Global Alert and Response Network (GOARN). “Ini adalah sejumlah laboratorium terdiri dari institusi kesehatan publik nasional, sejumlah grup seperti Medecins Sans Frontiers yang melaporkan secara terus menerus jika ada wabah muncul,” kata David Heymann, kepala Centre for Global Health Security.
Tujuan lembaga-lembaga ini adalah secara cepat mengindentifikasi, mengonfirmasi, dan memberi respons akan wabah yang terjadi demi kepentingan internasional. “Yang paling tinggi risikonya adalah yang menyebar lewat udara,” kata Heymann.
“Dengan influenza saya yakin akan ada pandemi lain,” kata Wendy Barclay, kepala virologi influenza dari Imperial College, London. Barclay mendalami asa-usul pandemi dan mengapa sejumlah virus bisa menular dan melompat dari hewan ke manusia. Misalnya H1N1, virusnya dikenal sebagai flu burung dan virus influenza babi, yang menghasilkan jenis infeksi baru pada manusia dan tak ada kekebalan tubuh pada mereka yang berisiko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Jika ini adalah penyakit baru, tak ada antibodi yang sebelumnya ada dalam tubuh manusia untuk menahannya dan sangat mungkin kita menyebarkannya pada orang lain,” kata Barclay.
Para ahli sepakat bahwa wabah di masa depan dan pandemi potensial mungkin akan terjadi, tapi belajar dari kejadian sebelumnya, semestinya respons terhadap wabah ini bisa lebih cepat.
Kuncinya adalah mengidentifikasi virus, memperkirakan ancamannya dan potensi penyebarannya di populasi manusia secepat mungkin. Baru kemudian menyiapkan aksi menangani pandemi.
“Flu sangat sulit untuk dikendalikan saat sudah jadi outbreak,” kata Barclay. Salah satunya adalah karena kemampuan virus untuk menyebar ketika orang belum merasakan gejalanya. Sehingga kadang-kadang pemeriksaan di bandara saja kurang efektif.
Kebalikan dari Ebola dan SARS, orang akan menjadi sumber penularan ketika pada dirinya sudah muncul gejala penyakit. “Kami bisa membatasi penyebaran SARS,” kata Barclay, karena pasien hanya bisa jadi penular virus berhari-hari setelah gejala muncul. Jika pasien bisa dirawat di rumah sakit dengan segera saat gejala muncul, akan ada lebih sedikit risiko mereka menularkan penyakit pada yang lain.
Perencanaan dan persiapanTantangan menghadapi masalah kesehatan publik di seluruh dunia adalah fakta bahwa harus ada yang siap untuk menghadapi yang tak terduga. SARS, flu babi, Ebola telah membuat banyak orang terkejut. “Ini adalah sebuah kerumitan yang tidak disangka-sangka pada akhirnya,” kata Barclay.
Menghadapi wabah macam ini tak bisa begitu saja dijelaskan dengan model matematika, termasuk
Models of Infectious Disease Agent Study (MIDAS) yang sering digunakan para ahli untuk menvisualisasikan bagaimana penyakit menular.
“Tapi ini berguna untuk memprediksi kapan outbreak akan terjadi,” kata Irene Eckstrand, mantan direktur ilmiah MIDAS. Di bawah kepemimpinan Eckstrand, timnya bisa memprediski skenario berbagai outbreak besar, termasuk H1N1 dan Ebola.
Mencakup segala informasi tentang biologi virus itu, mode transmisinya, dan penyebaran geografisnya. Semua data ini kemudian digunakan untuk memprediksi siapa yang akan terkena selanjutnya dan seberapa cepat bisa ditangani. Berbagai model skenario itu kemudian digunakan untuk membuat kebijakan seperti pembatasan travel, penutupan sekolah tergantung seberapa besar dampak wabah.
Data tersebut juga penting untuk pendistribusian vaksin jika ada, dengan tempat paling berisiko mendapat perhatian utama. Dalam kasus Ebola, model itu membantu pihak rumah sakit untuk menyiapkan jumlah tempat tidur dan ruangan isolasi.
Meski model penyebaran penyakit ini sering dipertanyakan, namun Eckstrand menyatakan memiliki model ini lebih baik dari pada tak punya dasar sama sekali dalam bekerja. “Model penyebaran penyakit infeksi tak pernah akan sepenuhnya bisa akuran memprediksi masa depan,” katanya.
“Lebih baik dikatakan jika kita tak melakukan hal ini, ada banyak hal buruk lain yang mungkin terjadi.” Ketika sebuah virus cukup diketahui, model ini bisa digunakan dengan cepat. Eckstrand yakin model ini bisa mengintegrasikan kerumitan yang mungkin otak manusia tak bisa menjelaskannya.
Namun penyebaran penyakit bukan perkara biologi semata. Ada didalamnya masalah perilaku manusia yang mungkin lebih sulit untuk diprediksi. Seperti misalnya dalam kasus Ebola ada tradisi mengubur jenazah dan praktek budaya yang malah membantu penyebaran penyakit jadi lebih cepat. Belum lagi ada masalah kepercayaan antara masyarakat dengan petugas kesehatan mempersulit pengidap mendapat diagnsa dan penanganan yang tepat
“Ada banyak hal terkait dengan Ebola,” kata Eckstrand diantara kesibukannya mengendalikan para ilmuwan, peneliti, petugas keamanan dan laboratorium nasional.
(utw/utw)