Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam kurun 20 tahun terakhir, revolusi kopi ibarat hantaman badai. Sebuah keluarga ada yang sangat mengandalkan setoples kopi untuk mendapatkan asupan kafein. Latte, kopi putih, kopi espresso dari biji arabika, apapun kopi yang Anda minum, industri kopi telah membuat banyak orang ketagihan.
Namun, apa rasanya menjalani hidup tanpa kopi? Seorang penulis keuangan yang tinggal di London, Amy Andrew (29), ditantang untuk menjalani hari-hari selama seminggu tanpa kopi. Amy menjelaskan tentang motivasinya untuk bebas dari espresso. Dia juga menuliskan aktivitasnya selama tujuh hari tanpa pergi ke kedai kopi.
Hari-hari Amy tanpa kopi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengikuti Tantangan Tanpa Kopi tampaknya cukup sederhana, kata Amy. Dia menyambut percobaan tersebut. Berharap dia bisa mendapatkan hidup baru yang bersih. Sedikit latar belakang tentang kebiasaan mengonsumsi minuman hangat Amy.
“Saya suka kopi, semakin kuat kopi itu, maka semakin baik. Saya minum double espresso ketika bangun, sebelum menuju ke pusat kebugaran. Kopi hitam kuat ketika masuk kantor, lalu pada pertengahan pagi. Waktu yang lain adalah sekitar pukul tiga sore untuk membuat saya tetap segar di sore hari.”
Amy bilang, dia tidak membutuhkan kopi, tapi hanya menikmati minum kopi. “Jadi saya tidak khawatir untuk tidak minum kopi selama tujuh hari.”
Hari pertama“Hari ini dimulai dengan buruk. Saya biasanya bangun dan langsung minum espresso. Pergi ke gym tanpa kopi adalah perjuangan, mungkin ini hanya secara psikologis, tapi tetap merupakan perjuangan. Saya merasa sulit fokus selama sesi latihan dengan pelatih pribadi saya. Dia harus mengulang kalimat beberapa kali, membuat saya sedikit marah.”
“Di tempat kerja, waktu seperti bergerak sangat lama. Saya lelah dan sakit kepala parah. Tiba-tiba, satu minggu rasanya begitu lama.”
Hari keduaHari berikutnya di gym tanpa tendangan kafein. Saya mulai menerima betapa saya sangat mengandalkan kopi. Saya merasa lesu di kantor. Melakukan tugas sehari-hari tampaknya butuh waktu lama. Tampaknya saya tidak bisa membuat otak saya bekerja.
Hari ketigaHari berikutnya, ada rapat di pagi hari. Gym bukan lagi masalah. Begitu mendarah dagingnya kopi, saya memesan dan minum kopi Arabian Java tidak ingat bahwa itu tidak diperbolehkan. Rasanya kasar jika kopi ini tidak dihabiskan. Perasaan puas diam-diam hadir. Meski curang, saya terbantu melewati sisa hari tanpa perlu kopi lagi.
Hari keempatHari berikutnya tidak sesulit hari pertama. Saya merasa lebih mudah dari yang saya pikirkan sebelumnya untuk mengubah rutinitas. Minum kopi rasanya lebih seperti kebiasaan. Mendikte hari-hari saya dengan sesuatu yang saya pikir saya butuhkan.
Hari kelimaKembali berjuang lagi. Saya keluar dengan teman-teman dan minum beberapa gelas anggur di sore hari. Biasanya saya menyegarkan diri dengan secangkir kopi hitam kuat. Saya merasa lebih sulit untuk membuat otak bekerja. Tanpa kafein, bersosialisasi di malam hari, dan bangun pagi untuk pergi ke gym terasa lebih melelahkan dari biasanya. Tapi saya pikir, saya hanya butuh satu (cangkir kopi) untuk bekerja.
Hari keenamAkhir pekan tidak terlalu jadi masalah karena saya tidak minum kopi sebanyak biasanya. Mungkin satu cangkir saya di pagi hari. Di sini saya akui tergelincir untuk kedua kalinya. Saya memesan espresso setelah Sabtu malam mabuk di restoran dengan teman-teman.
Keputusan: “Saya tidak perlu kopi, tapi saya menyukainya.”
“Saya ingin katakan, saya mengurangi kopi setelah tantangan ini. Melihat ke belakang, sebagian besar dampak mengurangi kafein adalah psikologis. Minum kopi adalah kebiasaan, dan saya terobsesi ketika menjalani hari tanpa kopi, bukannya mengalami efek samping terhadap fisik yang nyata.
(win/mer)