Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus yang melibatkan anak di bawah umur belakangan ini kian merebak. Mulai dari penculikan sampai penelantaran anak yang menyebabkan anak terpisah dari orang tuanya.
Di Indonesia, angka kasus yang menimpa anak-anak sendiri jumlahnya cukup banyak. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menemukan pada tahun 2010-2014 ada 472 kasus anak hilang di Indonesia.
Sementara untuk tahun 2015, kasus anak hilang sudah mencapai 40 kasus sampai bulan Juni 2015. Sedangkan di tahun 2014-2015 ada 196 kasus yang mencakup kasus penculikan dan anak hilang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kasus penculikan anak yang di PGC kemarin, itu kasus penculikan yang ke-40," kata psikolog anak dan keluarga Anna Surti dalam kelas parenting 'Is Stranger Danger?' yang diadakan di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (3/9).
Penculikan memang bukan hal baru. Sejak dulu kejahatan penculikan ini sudah banyak dilakukan. Tapi, kata Anna, ada pergeseran tren penculikan anak yang berubah dulu dan sekarang.
Anna mengatakan, dulu penculikan identik dengan pemerasan. Si penculik pasti meminta uang dalam jumlah tertentu untuk menebus korban yang ditawannya. Tapi kini, kata Anna penculikan banyak berlatar karena gangguan jiwa.
"Penculikan tidak ngetren karena menculik anak lebih banyak ruginya. Pertama harus menghidupi anaknya, lalu kalau ketahuan, hukumannya berat," ujar Anna.
"Sekarang lebih karena penculik mengalami gangguan jiwa, bisa mengarah ke paedofil juga," katanya.
Cara untuk menculik pun bermacam-macam. Tapi yang pasti pelaku penculikan kerap mengiming-imingi anak dengan sesuatu yang bisa memikat hati. Ada pula yang berpura-pura menjadi orang terdekat si anak yang ternyata sedang terpisah dengan orang tuanya.
Yang jelas, orang tua harus meningkatkan kewaspadaannya agar anaknya tidak menjadi korban penculikan. Orang tua pun harus membuka mata dan telinganya, untuk mengawasi lingkungan sekitar kalau saja ada orang yang mengancam keselamatan buah hatinya. Orang tua dituntut untuk lebih peka.
(mer)