Merekam dan Menjawab Fenomena Wanita Bersepatu Hak Tinggi

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Minggu, 13 Sep 2015 12:57 WIB
Sosok laki-laki yang harusnya terlihat gagah ternyata dahulu mengenakan sepatu hak tinggi, bahkan untuk berperang.
Fenomenologi Wanita Ber-High Heels karya Ika Noorharini (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Jakarta, CNN Indonesia -- "Siapa yang dapat menyangka jika high heels yang sangat cantik, seksi dan feminin, pertama kali dikenakan oleh... Pria!"

Kutipan di atas adalah salah satu bagian dari buku debut Ika Noorharini, Fenomenologi Wanita Ber-High Heels.

Ika tidak mengarang pernyataan yang mengejutkan hampir semua wanita pengguna sepatu hak, dan para lelaki, yang kadang tersihir oleh wanita bersepatu hak tinggi. Faktanya memang demikian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sosok laki-laki yang harusnya terlihat gagah ternyata dahulu mengenakan sepatu hak tinggi, bahkan untuk berperang.

Kisah tersebut berada di salah satu bagian dalam buku setebal 112 halaman itu. Buku ini berisikan fakta sejarah, pendapat, pengalaman, dan juga analisis atas fenomena sepatu hak tinggi yang semakin diminati para wanita di kota besar.

Judul dengan kata 'fenomenologi' memang cenderung asing, terutama untuk buku populer seperti yang Ika buat. Namun, di balik 'berat'nya judul buku ini, Ika menggarapnya dengan cukup ringan, bahkan untuk para lelaki yang biasanya asing dengan istilah dalam mode.

Buku ini tidak dibuat Ika secara sembarangan. Fenomenologi Wanita Ber-High Heels pada awalnya adalah tesis yang membuat Ika berhasil meraih gelar Master Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana.

"Butuh hampir tiga tahun untuk mengubah tesis itu menjadi buku yang sekarang," kata Ika kepada CNN Indonesia selepas perilisan Fenomenologi Wanita Ber-High Heels di Plaza Senayan, beberapa waktu lalu.

Tiga tahun ia mengerjakan buku tersebut, bersama sang suami yang membantu dalam pengecekan fakta sejarah, teori, dan ikut merangkum analisis tesis Ika. Walaupun Ika mengaku sebenarnya lebih banyak berleha-leha ketimbang mengerjakan bukunya.

Perjuangan Ika terbilang sukses. Ia hampir dapat mengubah karya ilmiah yang besar dan 'berat' dibaca oleh banyak orang menjadi bacaan yang cukup ringan.

Walaupun, perlu sentuhan visual tambahan hingga buku ini benar-benar ringan dibaca, tanpa mengurangi bobot informasinya.

Namun, dalam beberapa bagian, terdapat kekurangan beberapa informasi penunjang dan catatan kaki yang semestinya tetap dijelaskan dengan detail selayaknya tesis, atau buku analisis lainnya.

Melibatkan 15 wanita sebagai narasumber

Dalam menyampaikan informasi pengalaman mengenakan sepatu hak tinggi yang ternyata berbeda-beda pada setiap perempuan, Ika menampilkan 15 wanita dari berbagai profesi sebagai narasumbernya.

Kelima belas wanita ini juga menjadi narasumber dalam tesis yang dikerjakan Ika. Para wanita itu menjabarkan motif mereka mengenakan sepatu hak tinggi, mulai dari menginginkan tubuh yang tinggi agar mendapat perhatian, hingga hanya sekadar ingin dibilang up-to-date.

"Sebenarnya ketika akan membuat tesis itu, saya hanya ingin tahu apa yang ada di benak para perempuan ketika mengenakan high heels. Selain karena saya juga pemakai heels, sehingga high heels kemudian menjadi simbol komunikasi dari para wanita," kata Ika.

Jabaran demi jabaran yang terpapar dalam buku ini sebenarnya menggugah pertanyaan mendasar bagi semua perempuan yang mengenakan sepatu hak tinggi. Mengapa tetap mengenakan sepatu hak tinggi bila itu menyakitkan? Mengapa perempuan rela 'berdarah-darah' demi dapat dibilang cantik atau seksi?

Bukan hanya perempuan, buku ini mungkin dapat menjawab pertanyaan sebagian lelaki yang terheran-heran melihat pasangannya begitu keranjingan akan sepatu hak tinggi.

Buku ini juga memberikan wawasan baru mengenai kebutuhan emosional dan pikiran wanita, yang seringkali menjadi permasalahan komunikasi antara kaum Adam dengan kaum Hawa.


(mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER