Jakarta, CNN Indonesia -- "Tek tok, tek tok..."
Suara yang sanggup mengalihkan fokus sebagian orang dari pekerjaannya masing-masing di kantor itu berasal dari jenis sepatu wanita bernama
high heels.Sepatu
high heels nyaris seluruh wanita pernah mengenakannya, paling tidak sekali dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai pengalaman para wanita mengenakan jenis-jenis high heels seperti
stiletto, platform pump, peep toe platform, mary jane, dan sebagainya pastilah beragam.
Mulai dari perasaan merasa lebih seksi
, powerful, hingga harus pergi ke dokter karena terjadi perubahan dalam struktur kaki karena sepatu berhak, pernah terjadi dalam hidup wanita-wanita bersepatu hak tinggi ini.
Wanita ini adalah salah satu pemimpin perusahaan BUMN, PT Angkasa Pura Retail, yaitu Teges Prita Soraya.
Di depan para sosialita yang menghadiri perilisan buku Fenomenologi Wanita Ber-high Heels di Plaza Senayan beberapa waktu lalu, Teges menceritakan pengalamannya.
"Ketika saya mengenakan high heels, secara otomatis badan saya menjadi tegap dan merasa lebih," kata Teges.
Perasaan itulah yang membuatnya kecanduan mengenakan high heels, bahkan sejak dirinya remaja. Kesukaannya tersebut semakin menjadi ketika berkarier dalam pekerjaan di tengah para laki-laki.
Sebagai wanita satu-satunya ketika menghadiri rapat pimpinan perusahaan, Teges membutuhkan 'nilai tambah' dibandingkan kolega-koleganya, dan ia mendapatkannya dalam bentuk high heels setinggi sembilan sentimeter.
Baginya, pakaian boleh formal namun sepatu high heels membuat pakaian 'kaku' yang ia kenakan menjadi lebih 'cantik'.
Namun, semua mulai pudar ketika ia memasuki usia 40-an.
"Dahulu tahan pakai heels, sekarang ketika sudah lewat usia 40, hanya bertahan hingga acara perusahaan usai, selepasnya, langsung dicopot karena tidak tahan," kata Teges sembari tertawa.
Meski sakit, Teges masih 'melindungi' sepatu high heels miliknya. Ia mencopot high heels, memasukkannya ke dalam tas khusus lalu mengenakan sneaker.
Dirinya pun lebih mementingkan memayungi tas dan high heels-nya ketimbang kepala saat hujan turun.
Wanita berambut lurus ini pernah harus ke dokter lantaran kakinya mengalami perubahan struktur tulang, kakinya mengikuti bentuk sepatu high heels yang selalu ia pakai.
Bukan hanya di bagian kaki ia mengalami perubahan, namun juga bagian pinggul. Seiring dengan bertambahnya umur, encok kerap kali ia rasakan setelah mengenakan high heels dalam durasi yang lama.
Namun kecanduan wanita ini akan high heels sedikit berkurang. Selain karena 'peringatan' yang datang dari sang kekasih dan anak-anak, rasa sakit yang datang kepadanya setiap kali mengenakan high heels juga menjadi faktor pendukung.
Meski berkeinginan mengurangi ketergantungan dirinya akan high heels, tapi ia belum tahu kapan benar-benar akan berhenti. Ia sendiri pun tak ingin menurunkan walau hanya setengah sentimeter dari tinggi heels-nya.
"High heel is something small that makes women happy," kata Teges. "Jadi jangan lupa bawa sneakers," lanjutnya sembari tertawa.
Cerita yang tak jauh berbeda dialami oleh Qamaril Hazhiya, seorang karyawati swasta di Jakarta. Ia mengenakan high heels lantaran 'tuntutan pekerjaan'.
"Sebelum bekerja di kantor sekarang, saya sempat bekerja di hotel dan menuntut saya untuk mengenakan high heels sepanjang hari," kata Qamaril kepada CNN Indonesia.
Tuntutan dari sang manajer itu awalnya terasa sangat berat. Baik duduk maupun berdiri, Qamaril harus mengenakan sepatu hak.
Hingga akhirnya, dirinya pun 'kebal' atas sakit seperti pegal di betis ataupun rasa lecet di kaki saat mengenakan sepatu berhak tinggi.
Pun ketika ia pindah ke kantor saat ini yang memiliki fleksibilitas dalam urusan jenis sepatu, ia masih menyimpan sepatu berhak sembilan sentimeter di bawah meja kerjanya.
"Sekarang memakai high heels itu karena cantik," kata Qamaril.
Meski mengetahui akan bahaya dan sakit yang diderita lantaran sepatu hak tinggi, Qamaril belum tahu sampai kapan dirinya akan tetap bertahan dengan jenis alas kaki itu.
Berbeda dengan dua wanita sebelumnya, Khairiyyah Sari, seorang style consultant, mengaku dirinya menyesuaikan high heels dengan situasi yang ia hadapi.
"Kalau berada di lingkungan fesyen yang memang lebay (berlebihan), ya tidak masalah, namun ketika saya berada di lingkungan teman-teman saya yang non-fashion, saya lebih memilih flat shoes," kata Sari.
Sari, sapaan akrabnya, mengaku ia adalah seorang pencinta sepatu-sepatu yang ceper. Ia lebih memilih mengenakan kitten heels, yang memiliki tinggi kisaran tiga hingga lima sentimeter.
Selain lebih menyukai kitten heels, Sari juga merasa memiliki tinggi badan yang cukup tinggi, di kisaran 170 cm.
Sehingga ia merasa bila mengenakan heel di atas lima sentimeter akan membuatnya 'menjulang' di antara kerumunan.
"Tapi ketika saya memberikan workshop ataupun arahan, saya akan memilih high heels, karena bagaimanapun ada kekuatan dari heels itu, mampu membuat orang memberi atensi, walaupun kekuatan itu harusnya datang dari diri sendiri," kata Sari.
Penggunaan kitten heels bagi Sari juga membantunya dalam beraktivitas. Struktur kitten heels yang lebih pendek sanggup memberikan kemudahan penggunanya untuk berpindah dengan cepat tanpa harus kehilangan keseimbangan.
Kemampuan high heels 'menjulangkan' para penggunanya juga diceritakan oleh Sari. Banyak teman-temannya yang memiliki tinggi badan lebih rendah dari dirinya membutuhkan 'kekuatan' high heels supaya mendapatkan atensi orang lain.
Namun, Sari sebagai style consultant memberikan catatan bagi anggapan high heels terkait dengan gaya berpenampilan seseorang, semua soal kelihaian padu-padan.
"Banyak wanita yang bilang 'saya kalau tidak pakai high heels tidak gaya', anggapan itu salah. Tidak ada hubungannya gaya dengan sandal, sneakers, atau apapun. Kalau memang tidak ada total look-nya keren, ya tidak keren." kata Sari.