Jakarta, CNN Indonesia --
Backpacker muda saat ini memiliki akun Instagram, ponsel GPS, juga koneksi
wifi ketika mereka menjelajahi sudut terpencil dunia. Pengembaraan sudah dilengkapi oleh internet, spontanitas tidak setinggi para petualang dahulu.
Namun, di era 1970-an, melakukan perjalanan adalah tentang pergi ke luar tanpa tahu di mana Anda akan berakhir. Dengan banyak anak-anak muda melakukan perjalanan maka berkembanglah istilah 'jejak hippie'.
Roger Sproston adalah salah satu di antara para petualang di era '70-an. Dalam bukunya yang berjudul
Fighting for Light: The Travels of a Tin Pot Warrior, dia membuat skema serangkaian petualangan yang tidak mungkin terjadi pada wisatawan di era modern.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada usia 15, Sproston, yang kini berusia 63 tahun, bergabung dengan Angkatan Laut Inggris. Tujuannya kala itu, melarikan diri dari kehidupan kelas pekerja yang membatasi kehidupannya di Wolverhampton.
Beberapa tahu berselang, dia berpindah kapal menuju kebebasan yang dia tunggu-tunggu. Kisah selanjutnya adalah tahun-tahun perjalanan ke seluruh dunia dengan persediaan tak lebih dari pakaian di punggungnya.
Dari menghindari tembakan peluru revolusi di Iran, sampai tinggal sebentar di San Francisco, dan pelarian menegangkan dari pembunuh berantai William Bonin, yang dikenal sebagai
the Highway Strangler pada tahun 90-an, Sproston berpetualang tanpa memerhatikan keselamatan dirinya.
“Dunia sekarang lebih paranoid,” katanya. “Ada banyak ketidaknyamanan saat ini. Pada tahun 1970-an ada perasaan yang berbeda, lebih polos.” Di zaman tersebut, seseorang bisa melakukan perjalanan ke Perancis dengan uang kertas lima dolar di sakunya dengan hanya mengacungkan ibu jari keluar.
“Ketika saya melakukan perjalanan pada 1978, seperti kebanyakan orang pada saat itu, itu adalah pengalaman murni, tanpa tahu apa yang akan terjadi. Lalu, Anda berada di sebuah tempat dengan satu atau beberapa cara.”
Namun, ketika melihat kembali ke belakang, Sproston berpikir, bagaimana dia bisa selamat dari perjalanan tersebut. “Kami pergi dari rumah dengan uang tidak lebih dari lima dolar dan menghentikan kendaraan dengan ibu jari kami, berharap bisa pergi ke India.
“Menjadi anak muda yang menginginkan petualangan, saya mengabaikan bahaya yang mungkin saya hadapi dan terus melakukannya.” Tak jarang Sproston tidur di luar ruangan dengan
sleeping bag-nya. “Itu adalah kebebasan,” katanya.
Petualangan besar pertama Sproston adalah ketika menumpang dari Inggris ke Amsterdam, lalu mengemudi lewat darat ke Munich, menuju India melalui Yugoslovia, Turki, Iran, dan Afganistan, dan lalu ke Nepal, dan kembali lagi.
Memasuki Iran dari Afgahistan adalah salah satu perjalanan Sproston yang sangat menegangkan. “Siapa pun yang tampak Barat adalah incaran. Kami semua diperintahkan keluar dari bis satu waktu. Lalu, bis itu hancur berkeping-keping. Saya pikir kami semua akan tewas. Sepuluh atau lima belas turis terbunuh dengan cara tersebut.
Sproston dan temannya, Shaun, akhirnya melakukan perjalanan pada malam hari, sampai mereka mencapai perbatasan Rusia, dan menyeberang kembali ke Turki. “Pada saat kami sampai di sana berat saya hanya 50 kilogram, karena sakit dan stres.”
(win/utw)