Jakarta, CNN Indonesia -- Para pelaku fesyen di Indonesia mengakui bahwa perkembangan industri fesyen memang terlambat dibandingkan negara lain. Tapi kalau dibilang tertinggal menerapkan
sustainable fashion dan
ethical fashion, anggapan itu tidak tepat jika ditudingkan kepada Indonesia.
Justru sampai saat ini Indonesia menjadi salah satu negara yang masih menerapkan konsep ini sejak zaman nenek moyang.
Misalnya saja untuk pembuatan tenun di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak dulu, pewarnaan benang yang digunakan untuk menenun menggunakan pewarna alami yang berasal dari akar hingga daun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti yang dilakukan Suku Boti. Mereka melakukan pewarnaan tekstil dengan bahan alami. Warna kuning didapatkan dari kunyit dan warna hitam dari daun nila. Bahkan benang yang digunakan untuk menenun pun hasil dari perkebunan sendiri dengan memilih tanaman yang sudah tua.
Untuk membuat batik pun masih ada yang memilih menggunakan pewarna alami dibandingkan dengan pewarna sintetis. Di Bantul ada batik yang diwarnai dengan menggunakan buah dari pohon kesumba. Tumbuhan dengan nama latin
bixa orellana itu merupakan tumbuhan perdu yang dikenal memiliki pigmen warna merah.
Desainer Merdi Sihombing pun menyadari hal tersebut. Tapi, ia mengatakan tradisi nenek moyang itu pudar di beberapa daerah ketika modernisasi datang dan dunia semakin terbuka.
"Dulu nenek moyang kita menggunakan serat alam dan pewarna alam. Ketika dunia barat menggunakan pewarna pabrikan dan kimia, itu dipakai sehingga sekarang pewarna alam sudah tidak
sustain lagi," ujar Merdi dalam Forum Sustainable Fashion pada gelaran Jakarta Fashion Week 2016 di Senayan City, Senin (26/10).
Direktur Edukasi Badan Ekonomi Kreatif Poppy Savitri juga mengatakan hal yang sama. Poppy mengungkapkan, menyikapi
sustainable fashion mengingatkan kembali pada masa lalu bangsa ini yang sudah diwariskan nenek moyang sejak dulu.
"Sekarang produksi jadi cepat, menggunakan alat dan pewarnaan kimia. Dulu menggunakan tangan dan warnanya alam. Tapi sekarang bagaimana tetap mengembangkan fesyen dengan mengembangkan nilai itu," kata Poppy dalam forum yang sama.
Oleh sebab itu, mereka percaya tidak sulit untuk menerapkan konsep tersebut di Indonesia karena nilai-nilainya sudah tertanam sejak dulu.
Upaya untuk tetap mempertahankan
sustainable dan
ethical fashion sampai saat ini juga masih terus dipertahankan baik secara sadar maupun tidak sadar. Beberapa desainer bahkan mempungai komitmen khusus dalam menerapkan konsep tersebut.
Merdi Sihombing salah satunya. Ia berkomitmen untuk menerapkan konsep ini dan mengembangkannya bersama pengrajin di daerah.
Sudah sejak 2008 Merdi menerapkan
sustainable dan
ethical fashion. Kala itu ia dipilih oleh perusahaan penghasil
fiber dari Eropa untuk menjalankan sebuah proyek bertema
Sustainable for Future di Kabupaten Rote Ndao, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Merdi bercerita, di Rote Ndao banyak sekali pengrajin kain tenun. Dulu, di pulau itu, tumbuh banyak pohon indigo yang digunakan sebagai pewarna alami untuk tenun. Ini adalah salah satu bukti konsep
sustainable dan
ethical fashion sudah berkembang sejak dulu bahkan di daerah.
Di Rote Ndao Merdi merangkul para pengrajin untuk terlibat dalam proyeknya tersebut sekaligus dalam rangka pemberdayaan.
"Kami membuat kain dengan menggunakan pewarnaan alam seperti rumput laut. Dulu bangak pohon indigo di sana tapi sekarang sangat sedikit. Kami merangkul mereka juga untuk menanam indogo dan kapas," kata Merdi.
Tidak hanya mengingatkan untuk kembali menggunakan bahan alami yang ramah lingkungan, Merdi juga tetap menjaga kearifan lokal. Ia tidak membuat busana dari kain tradisional ala masyarakat Rote Ndao karena tidak mau menggunting kain yang dianggap memiliki nilai filosofis yang dalam bagi budaya mereka. Merdi lebih memilih menggajarkan motif baru pada pengrajin.
Pembagian kerja juga ia lakukan untuk memberdayakan masyarakat. Ia menyiapkan sebuah sistem kerja yang bisa diterapkan oleh masyarakat lokal.
"Ada yang membuat motif, ada yang mencelup benang. Yang menggulung benang, kami berdayakan nenek-nenek untuk melakukan itu karena pekerjaannya tidak terlalu sulit," ujar Merdi.
Semua itu ia lakukan selama lebih dari dua tahun bersama masyarakat Rote Ndao. Hasilnya, karya Merdi dan para pengrajin di Rote Ndao pun sukses menggebrak panggung Jakarta Fashion Week 2016 tadi malam.
Merdi bukanlah satu-satunya desainer yang menerapkan hal itu. Dian Pelangi juga menerapkan konsep yang hampir sama.
Dian lebih menitikberatkan pada kesejahteraan para pegawainya. Orang-orang yang membantunya memproduksi busana ala Dian Pelangi.
Perempuan berhijab itu mengaku, dia tidak ingin hanya asal memakai jasa pegawainya untuk mendulang keuntungan sebesar-besarnya, tapi juga memerhatikan kesejahteraan orang-orang yang selalu membantu dirinya.
"Aku memberikan kebebasan buat para pekerja. Aku selalu mengajak mereka tukar pikiran," kata Dian ketika berbincang dengan CNN Indonesia di sela kegiatannya dalam Jakarta Fashion Week 2016.
Untuk urusan pribadi seperti beribadah, Dian pun memberikan waktu dan tempat untuk beribadah. Tak lupa ia juga kadang memberikan bonus lebih pada para pekerja yang sudah membantunya.
"Kadang aku liburan atau pergi bareng. Habis
fashion show liburan bersama. Aku pengennya kerja tidak hanya urusan bisnis saja tapi hubungan personalnya juga ada jadi bekerjanya nyaman," ujarnya.
Dari penggunaan bahan, Dian mengaku belum sepenuhnya menggunakan bahan alami. Ia berpikir penggunaan bahan alami tanpa memelihara dan mengembangbiakkan sumber bahan alami tersebut juga akan berdampak tidak baik pada alam dan ia belum siap untuk itu.
"Aku masih mencoba sekarang. Daun-daun dan buah-buahan kalau kita pakai terus juga akan habis. Aku masih campur natural dan kimia. Asal pengolahan limbahnya pas, tidak asal buang dan melakukan daur ulang," kata dia.
Desainer muda Restu Anggraini dan Friederich Herman juga sudah menerapkan konsep ini pada karya mereka. Mereka memulainya dengan menyejahterakan pada pekerja yang mereka ajak kerja sama. Memanusiakan manusia, katanya.
"Tenaga kerja jangan sampai bekerja di bawah tekanan, jangan sampai di bawah umur, jam kerja juga proporsional," ujar Restu.
Restu dengan mereknya Etu juga mulai menggunakan bahan ramah lingkungan. Ia menggunakan bahan yang berasal dari serat
cupro yang ia peroleh dari Jepang. Untuk saat ini ia baru mendapatkan bahan ini sementara waktu, tapi Restu berharap ia bisa melanjutkannya agar bisa menerapkan
sustainable dan
ethical fashion di Indonesia, atau setidaknya untuk dirinya sendiri.
Namun, Restu mengaku cukup sulit mengembangkan konsep tersebut
di Indonesia. Sumber daya alam memang tersedia, tapi bahan baku dan material yang ramah lingkungan tidak tahu harus ia dapatkan di mana.
Merdi mengatakan, butuh usaha lebih untuk menerapkan konsep tersebut di Indonesia dan pemerintah harus berperan. Ia menyarankan pemerintah mendirikan Fashion Institute Technology agar bisa memaksimalkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk menerapkan
sustainable dan
ethical fashion. Nantinya, institusi itu diharapkan bisa mengajarkan proses produksi dari hulu sampai ke hilir.
(win/les)