Jakarta, CNN Indonesia -- Tony Wheeler dikenal lewat buku seri
Lonely Planet, sebuah panduan perjalanan pada tahun 1973, di mana dia memulai perjalanan dari London. Dengan mobil minivan-nya, Wheeler melewati jalur backpacker kaum hippie menuju Asia, dan akhirnya sampai di Sydney, di mana dia dan istrinya, Maureen, hanya berbekal uang 27 sen.
Namun, setelah menjual perusahaan
Lonely Planet senilai US$ 133 juta atau sekitar Rp 1,8 triliun pada 2007 kepada sebuah perusahaan penyiaran Inggris, Wheleer (66) tak perlu lagi melakukan perjalanan berbujet terbatas.
Di awal tahun ini, setidaknya Wheeler telah melakukan 22 kali penerbangan dengan maskapai bujet yang berbeda-beda. Dari London ke Australia, Wheler melakukan perjalanan epik selama satu bulan penuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Itu tidak romantis, pesawat dengan kursi sempit, kemanan bandara yang membosankan, dan penundaan penerbangan, tapi saya menikmatinya,” kata Wheeler dalam sebuah wawancara di sela-sela acara
Ubud Writers and Readers Festival di Bali, pada akhir pekan kemarin, seperti dilaporkan oleh Reuters.
Buku barunya, yang belum dipublikasikan, melihat kembali sejarah perjalanan udara, serta pertumbuhan mengejutkan maskapai berbujet rendah, serta orang-orang yang memulai bisnis penerbangan tersebut.
Tony dan Maureen memulai buku panduan
Lonely Planet berdasarkan buku harian perjalanan asli mereka. Buku tersebut, yang awalnya bercerita tentang generasi ransel
baby boomer yang melakukan perjalanan ke Asia, telah berganti dari waktu ke waktu.
“Buku-buku awal kami tulis untuk diri sendiri. Dan kemudian, kami menjadi lebih tua, lebih kaya, dan memiliki anak-anak, buku-buku itu berubah bersama kami. Itu bukan kebijakan yang disengaja. Kami berubah dan buku tersebut juga berubah.”
Wheeler mengaku, dia kecewa dengan cara perusahaan penyiaran Inggris tersebut menangani
Lonely Planet, menjual waralaba tersebut ke pengusaha tembakau Brad Kelley pada 2013.
“Ini adalah total bencana. Mereka membeli mobil
Lonely Planet. Mereka seharusnya mengisi bahan bakar di tangki dan membiarkannya berjalan. Sebaliknya, mereka masuk ke mobil, dan mengatakan, 'apa yang harus kita lakukan? Ayo mengemudi pelan-pelan', katanya.
Menurut Wheeler, bagaimanapun industri buku panduan wisata tersebut sudah matang. “
Tidak ada orang yang melakukan seperti yang kami lakukan bertahun-tahun lalu. Jika Anda akan melakukan sesuatu sekarang, itu akan berbeda sama sekali, sesuatu yang belum diramalkan. Saya tidak tahu apa itu. Jika saya melakukannya, saya akan melakukan sendiri.”
Apa yang kemudian dilanjutkan oleh Wheeler adalah, melakukan perjalanan dan menulis.
Ketika pertama kali Wheeler mendengar Presiden Amerika Serikat saat itu, George W. Bush, mengucapkan 'poros kejahatan', yang pertama terlintas di pikirannya adalah 'saya harus pergi ke sana'.
Hasilnya adalah, sebuah buku yang berjudul
Bad Lands pada 2010. Buku tersebut membawa para pembacanya ke negara-negara Iran, Irak, dan Korea Utara, serta lusinan negara lain yang mempunyai reputasi buruk.
Bad Lands dilanjutkan dengan buku berjudul
Dark Lands. Dalam
Dark Lands, Wheeler, mengunjungi negara-negara disfungsional. Kriterianya, tempat ini harus diliputi ketengangan, ada tantangan dan risiko untuk memasuki wilayah tersebut, katanya.
(win)