Awan Lounge yang terletak di atas atap Hotel Kosenda kawasan Wahid Hasyim, Jakarta. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa waktu terakhir, semakin banyak anak muda dan kaum urban membicarakan jenis tempat makan satu ini. Katanya, makan atau nongkrong di rooftop bar menjadi kegiatan yang layak dipamerkan di media sosial.
Tempat makan yang terletak di atas atap sebuah bangunan dikenal dengan istilah keren ‘rooftop bar’. Restoran atau bar macam ini menjajakan bukan cuma makanan seperti tempat makan yang menapak bumi lainnya, tetapi ikut menjual suasana makan dipayungi langit kota malam hari.
Namun tahukah bahwa sebenarnya fenomena kafe di atas atap ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu? Tempat makan di ketinggian, diyakini pertama kali ada pada kisaran 1880-an di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekitar era 1875, atap bangunan sebenarnya adalah tempat untuk mencuci dan menjemur pakaian basah. Atap menjadi tempat nongkrong kaum ekonomi menengah yang tinggal di apartemen, yang saat itu masih dipandang sebagai hunian kelas dua. Apartemen sendiri mulai tumbuh berkembang di Negara Paman Sam di era awal 1870 karena meledaknya angka penduduk di perkotaan seperti New York.
Namun, gagasan ini masih kagok bagi sebagian besar orang, karena risih tinggal di atas atau di bawah tempat tinggal orang lain.Guna mengatasi kecanggungan hal tersebut, maka apartemen didesain menjadi lebih pribadi dengan akses sendiri dan balkon yang semakin sempit guna menghindari 'lirikan' tetangga.
Namun ternyata tindakan ini menimbulkan dampak lain, yaitu penghuni menjadi terlalu individualistis, sehingga mereka lebih sering berkomunikasi di atap saat menjemur pakaian.
Kisaran 1880, seorang musisi sekaligus konduktor musik New York, Rudolph Aronson, baru pulang dari Eropa dengan sebuah pengalaman baru.
Di Negeri Biru tersebut ia terpesona dengan pementasan musik dan teater yang diadakan di taman-taman. Namun ketika pulang kembali ke Manhattan, ia tak dapat melakukan tindakan serupa karena terbatasnya lahan.
Ketimbang melakukan pementasan serupa di gedung teater pengap yang ia miliki di Broadway, ia memilih atap gedung tersebut. Aronson pun menyelenggarakan pementasan dengan set panggung dan kursi sama seperti teater tapi tanpa atap dan pendingin ruangan.
Aronson tak perlu merasa kegerahan karena angin semilir banyak tersedia di atap gedung itu.Ide Aronson tersebut sontak menjadi tren di New York. Berbondong-bondong bangunan tinggi di Big Apple membuat atapnya menjadi lebih berfungsi ketimbang jadi sarang burung gereja.
Saat itu atap menjadi pelarian kaum urban dari bisingnya kota besar.Seiring berkembangnya teknologi dan bangunan besar, tren rooftop ini bertahan dengan tambahan penampilan yang semakin megah. Fungsinya beragam, mulai dari makan-makan, pementasan, hingga pesta.
Rooftop Bar di pusat kota Manhattan (REUTERS/Elizabeth Shafiroff)
Pengelola pun merasa diuntungkan karena tren ini, selain harga sewanya murah, elevator pun menjadi lebih awet. Alasannya karena pengunjung lebih terpusat pada lantai paling bawah dan paling atas. Atap tak lagi jadi tempat jemuran.
Lambat laun gaya hidup makan di atap menjadi konsumsi golongan borjuis dengan banyaknya hotel mahal yang mengembangkan konsep al fresco dining ini pada 1920 hingga 1940an. Tak sedikit restoran atap menjadi tempat pertemuan bisnis hingga politik.
‘Makan di genteng’ sebuah bangunan megah menjadi penguat strata sosial kaum elit yang saat di ‘darat’ berbaur dengan kalangan menengah dan bawah, dalam keramaian kota.
Setelah melewati 1940, tren taman dan tempat hedon di atas atap sempat menurun. Hal ini karena pembangunan kembali ke tanah. Namun beberapa arsitek masih menggunakan taman di atap sebagai bagian dari arsitektur bangunan, seperti Le Corbusier.
Merambah ke Asia
Seiring dengan berkembangnya globalisasi dan interaksi antar bangsa, maka tren makan di atas genteng ini juga masuk ke peradaban di Asia, termasuk Jakarta. Di Asia sendiri, sudah banyak restoran bertebaran di atap-atap gedung yang menyajikan menu plus pemandangan kota metropolitan.
Fenomena rooftop ini banyak ditemukan di kota-kota besar seperti Singapura, Hong Kong, Bangkok, Shanghai, Manila, Kuala Lumpur, Seoul, Tokyo, Hanoi, Bali, dan Jakarta. Masing-masing kota menawarkan tren rooftop yang berbeda karena budaya modern ala Amerika Serikat bercampur dengan kultur lokal setempat.
Suasana di restoran Hause Rooftop, Kuningan. (CNN Indonesia/christina andhika setyanti)
Tak ada catatan persis kapan pastinya rooftop bar menjadi tren di Asia. Dari sekian banyak kota metropolitan di Asia yang memiliki rooftop bar, Singapura menjadi kota dengan banyak rekomendasi tempat rooftop bar terbaik. Setidaknya, delapan rooftop bar dengan standar internasional menjadi unggulan di Negeri Singa.
Di Jakarta sendiri, belum diketahui kapan rooftop bar pertama kali merambah langit ibukota. Namun, beberapa nama rooftop bar 'senior' telah sempat menjajal bisnis ini seperti Vertigo, Kampus, Pure, Cilantro, dan sebagainya. Kebanyakan dari tempat tersebut telah tutup, walaupun masih ada yang bertahan hingga kini.
Saat ini di Jakarta, setidaknya terdapat beberapa rooftop restaurant dan bar yang menjadi buah bibir di kalangan kaum urban. Salah satunya adalah SKYE yang disebut sebagai restoran paling tinggi di Indonesia, karena menempati lantai 57 Gedung BCA Grand Indonesia di ketinggian 230 meter. Lalu ada Awan Lounge, Lucy in the Sky, 8 Lounge, Soupanova Ecosky, dan masih banyak lagi.
Di kota asalnya, New York, penggunaan atap bangunan menjadi ruang publik telah mencapai 20 ribu hektar yang setara dengan 23 kali luasan Central Park. Bukan cuma New York yang memiliki 'atap' lebih luas ketimbang taman perkotaan, pada tahun 2000 silam, Chicago pun mengubah atap balai kotanya menjadi taman atap seluas lebih dari tujuh ribu meter persegi.
Semakin berkembangnya jaman, tren makan dengan cara yang berbeda akan menjadi sebuah tawaran yang menarik bagi kaum urban demi melepas kepenatan kehidupan.
Bukan tidak mungkin rooftop bar dapat bertahan seterusnya, dengan syarat mengikuti perkembangan tren arsitektur. Tetapi, bukan mustahil, tren ini hanya menjadi tren sesaat mengingat begitu sempitnya golongan yang dapat menikmati kuliner sembari memandang kemilau cahaya perkotaan di malam hari. (les)