Perjuangan 'Pahlawan' Perintis Hidup Bersih dan Sehat di Biak

Tri Wahyuni | CNN Indonesia
Jumat, 20 Nov 2015 09:27 WIB
Tak mudah mengubah kebiasaan hidup tak sehat menjadi hidup bersih dan sehat di Biak. Bagaimana kisah dan perjuangan tiga perintis hidup sehat di Biak?
Perilaku sanitasi dan hidup sehat di Biak, Papua (CNN Indonesia/Tri Wahyuni)
Biak, Papua, CNN Indonesia -- Mengubah kebiasaan yang sudah mengakar dan mendarah daging bukanlah perkara mudah. Meskipun perubahan itu membawa nilai kebaikan, jika dipandang tak sesuai kebiasaan bisa jadi tetap dinilai salah dan tidak sesuai.

Hal inilah yang dialami oleh para sanitarian atau relawan yang mengurus perbaikan sanitasi di Papua. Agusta Ansek, Yali Inggibal, dan Marthina Awak merupakan tiga dari sekian banyak relawan yang terus berjuang membuat perubahan meskipun mendapat banyak tentangan.

Selama ini, Papua mendapat gelar sebagai provinsi dengan kondisi sanitasi yang buruk di Indonesia. Bahkan sanitasi rumah tangga yang dinilai baik belum mencapai angka 30 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kebiasaan buang air besar sembarangan (BABS) menjadi penyumbang terbesar pada masalah sanitasi dan penyakit di Papua. Sebagian besar warga yang tidak memiliki fasilitas WC, biasanya sering membuang kotoran di kebun, dekat sungai, atau di pinggir pantai.

"Saya pernah lihat, perempuan pada telanjang bulat, mandi di sungai, buang air besar, ambil air buat masak, ambil air minum di sungai itu juga," kata Agusta dalam pertemuan tentang program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Biak, Papua, Selasa (17/11).

Tidak hanya soal kebersihan, menurut Mama Agusta, panggilan akrab Agusta, fenomena tersebut juga membuat perempuan seperti kehilangan harga dirinya dengan bertelanjang bulat sembarangan.

"Itu yang mendorong saya ada sanitasi. Yang namanya perempuan, dia hanya boleh mandi di kamar mandi. Teriris sekali hati saya," ujarnya.

Keresahan Mama Agusta inilah yang mengantarkannya untuk ikut terlibat program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) bersama organisasi lokal di Papua. Mama Agusta diberi pembekalan dan pelatihan tentang sanitasi untuk mengajak masyarakat mengubah perilakunya demi kesehatan yang lebih baik.

Tapi, perjalanan Mama Agusta tak mudah. Meski membawa perannya sebagai Ketua Tim Penggerak PKK di Distrik Namblong, Jayapura, awalnya ia tetap mendapat penolakan di kampung-kampung yang didatanginya di pedalaman Jayapura. Jumlahnya mencapai tujuh distrik.

"Kamu tidak usah bawa budaya lain ke sini atau mau ubah budaya kami," kata Mama Agusta menirukan salah satu perkataan warga saat itu.

Bermodalkan komitmen yang kuat juga ketabahan dan kesabaran, Mama Agusta tak menyerah. Ia membuat pendekatan lainnya untuk mengajak warga melakoni cara hidup yang lebih sehat.

Ia membuat pendekatan pada kepala suku dan kepala kampung. Ia berdiskusi banyak hal tentang sanitasi juga kebiasaan warga di sana. Usaha ini pun berbuah manis.

Akhirnya Mama Agusta menggerakkan warga untuk berbondong-bondong membuat jamban sebagai tempat buang air besar. Tak perlu mewah dan kokoh, yang penting ada tempat untuk buang air besar tanpa mencemari lingkungan.

"Saya pakai alat yang ada. Saya ajak PKK turun ke kampung, gali tanah sekitar 4 meter, kita kasih kayu atasnya. Daun sagu dan daun kelapa dipakai untuk pagar. Bambu untuk tutup di atas," ujar dia.

Agusta Ansek dan Marthina Awak, relawan relawan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) dari Jayapura dan Biak. (CNN INdonesia/Tri Wahyuni)


Kisah Yali Inggibal

Pejuang sanitasi lainnya, Yali Inggibal juga melakukan cara yang hampir sama dengan Agusta. Ia menggerakkan warga di Wamena untuk membuat WC atau jamban. Salah satunya di Desa Manda, Distrik Boge.

Karena harga bahan baku seperti semen sangat mahal di Wamena, akhirnya Yali mengusulkan untuk membuat jamban dari bahan-bahan yang ada di hutan.

Yali menggunakan alang-alang dan kayu untuk membangun dindingnya. Sedangkan untuk WC-nya sendiri ia membuatnya dari abu sisa bakar batu. Yali juga menggunakan abu yang sama untuk membuat sabun pencuci pakaian.

Bekerja sejak 2013, kini Yali dan warga kampung di Wamena yang ia bina telah membuat 83 WC yang dilengkapi dengan kepala WC sebagai pengurusnya.

Untuk menjaga keberlangsungan program ini, Yali mengajak masyarakat untuk membuat peraturan. Siapa saja yang kedapatan buang air besar sembarangan, akan didenda Rp300 ribu. Mendengar 'ancaman' itu warga pun mau tak mau harus patuh karena dendanya mahal.

Menjadi contoh yang baik

Mengubah perilaku orang lain memang sangat sulit. Oleh karenanya Marthina Awak mengambil pendekatan yang berbeda. Ia bersama relawan lainnya sepakat, sebelum meminta masyarakat mengubah perilaku dan kebiasaan mereka, para relawan juga harus berubah demi menjadi contoh yang baik.

Warga Desa Komboi, Distrik Warsa ini bisa dibilang menjadi salah satu pelopor STBM di Papua, terutama di Kabupaten Biak.

Setelah mendapatkan pelatihan dari Yayasan Rumsram dan SUMAVI yang fokus pada STBM, Marthina mencoba ilmu yang ia dapatkan ke dirinya terlebih dahulu. Marthina ingin kampungnya, Desa Komboi, menjadi lebih baik dari segi kesehatannya. Karena buat dia, tidak mungkin ada orang lain dari kampung sebelah yang mau membangun kampungnya jadi lebih baik, kecuali dirinya sendiri.

"Saya berani karena tidak pakai uang. Hanya berani, tahu, mampu," ujarnya Marthina.

Upaya Marthina dan 14 relawan lainnya membenahi Desa Komboi akhirnya berbuah manis. Setahun setelah praktik STBM, tepatnya pada 2012, Desa Komboi menjadi desa pertama yang mendeklarasikan STBM. Ini artinya mereka berhasil menerapkan STBM.

Tak cuma itu, sejak STBM digalakkan dan warga banyak membuat WC sendiri serta meninggalkan kebiasaan buang air besar sembarangan, Marthina mengatakan pengunjung puskesmas yang terserang diare pun menurun.

Oleh sebab itu, untuk mendukung program ini terus berjalan, Marthina dan rekannya terus melakukan uji coba. Misalnya dengan mengadakan lomba STBM antar dusun.

Ternyata warga begitu antusias dan mereka pun terpicu untuk menerapkan budaya hidup sehat seperti cuci tangan pakai sabun, buang air besar di wc, dan kebiasaan bersih lainnya.

Tantangan terbesar perilaku hidup bersih

Namun, di balik semua keberhasilan para relawan, masih ada masalah besar yang harus dihadapi masyarakat ketika menerapkan program STBM. Ketersediaan air atau akses air yang sulit membuat program ini jadi tidak maksimal.

"Kekurangan di air bersihnya. Saya bawa air dari gunung yang ada mata airnya. Cara untuk disalurkan ke masyarakat susah," ujar Agusta dengan logat Papua yang kental.

"Ada air bersih, tapi tidak ada pipa. Akhirnya kami bawa, pikul setengah mati," ujar Yali.

Bukan cuma air, masalah lain yang juga menghadang adalah masalah listrik. Penerangan di WC yang sudah mereka buat pun menjadi sulit. Kadang terpaksa harus menggunakan obor atau penerangan api lainnya yang dikhawatirkan akan membakar habis WC mereka jika tidak hati-hati.

STBM merupakan pendekatan untuk mengubah perilaku higienis dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Program ini bertujuan untuk menurunkan angka penyakit diare dan penyakit berbasis lingkungan lainnya yang berkaitan dengan sanitasi yang buruk dan perilaku yang tidak bersih.

Demi mencapai tujuan tersebut masyarakat diharapkan memiliki akses terhadap sarana sanitasi dasar sehingga dapat mewujudkan komunitas yang bebas dari BABS, menerapkan pengelolaan air minum dan makanan yang aman, mencuci tangan dengan sabun, dan melakukan pengelolaan limbah serta sampah yang benar. (chs/chs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER