Belajar Dari Kesalahan Bali

Silvia Galikano | CNN Indonesia
Minggu, 29 Nov 2015 15:40 WIB
Mengembangkan wisata Indonesia harus dengan penyelarasan budaya tradisional dan budaya modern. Termasuk soal arsitektur di destinasi wisata.
Ilustrasi pantai di Bali. (Pixabay/keulefm)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bali bukan patron untuk mengembangkan kawasan wisata Indonesia. Lihat saja Senggigi di Lombok yang jadi ketelanjuran besar, semrawut bagaikan Seminyak di Bali. 

Mengapa pengembangan wisata di Lombok dan Nusa Penida tidak belajar dari kesalahan Bali? Cagar budaya Lombok Barat, seperti Taman Mayura dan Taman Narmada kurang dapat perhatian pemerintah daerah. Nusa Penida seharusnya mengikuti contoh Nusa Lembongan, bukan mensontek Nusa Dua yang artifisal sampai-sampai dijuluki Dufan Bali. 

Kekhawatiran tersebut dikemukakan arsitek dari Bali Made Wijaya dalam Forum Perencanaan Pariwisata - Konferensi Desain dan Prototipe Pariwisata di Merlynn Park Hotel, Jakarta, Jum’at (27/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Acara yang digagas Kementerian Pariwisata RI ini menghadirkan para pelaku di bidang perencanaan dan perancangan yang terkait dengan kepariwisataan. 

Made Wijaya adalah arsitek lansekap yang sudah menggarap resort-resort mewah di Bali, Sulawesi, Malaysia, hingga India di bawah bendera PT Wijaya Tribwana International.

Pria yang lahir di Australia dengan nama Michael White ini datang ke Bali pada 1973, tinggal di rumah keluarga Hindu, dan jatuh cinta dengan Bali sejak itu. Made melihat Bali hari ini sudah jadi pariwisata massal, mirip pabrik, semua bangunan dibuat masif sehingga kekuatan ruangnya hilang.

Ironisnya, ini justru ditiru mentah-mentah oleh daerah lain. 

Arsitek ikut ambil bagian dalam hal ini karena tak menggunakan budaya lokal sebagai pijakan. Malah ada kecenderungan arsitek asing yang lebih peduli pada arsitektur tradisional, sementara arsitek lokal hanya ikut arus tren modern, lalu gimmick tradisional dicomot sebagai tempelan. 

“Kemanakah visi pelopor wisata budaya dan leluhur pariwisata di Bali, Cokorda Agung Sukawati, Joop Ave, Gede Riyasse, dan Wija Waworuntu? Apakah arus budaya wisata dapat dibalikkan?” ujar Made. 

Indonesia yang terdiri dari 17 ribu pulau memiliki 560 suku, jumlah terbanyak di dunia, dengan saingan terdekat benua Afrika.

Yori Antar, arsitek yang beberapa tahun terakhir banyak mendapat kerjasama membangun lagi rumah-rumah tradisional yang nyaris punah, menyebut arsitektur Nusantara sebagai arsitektur masa depan Indonesia. Sistem bongkar-pasang dan tahan gempa adalah ide jenius yang terlambat disadari. 

Yori bersama Rumah Asuh pada 2008 menginisiasi pembangunan rumah tradisional di Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur, dari yang tinggal satu jadi lengkap tujuh rumah. Satu rumah itu dijadikan semacam rumah contoh untuk dipreteli, dipelajari, diduplikasi, dan dipasang lagi dengan material dan metode yang sama. 

“Rumah tradisional dicap peninggalan zaman kebodohan dan kegelapan karena berasal dari masyarakat pemuja batu, karenanya harus dilupakan. Ini harus dibalik, rumah tradisional jadi masa depan arsitektur,” kata Yori. 

Yang jadi masalah, budaya tradisional tidak bekerja sama dengan budaya modern. Budaya lisan tak sejalan dengan budaya tulisan. Material rumah dari alam versus dari pabrik. Yang satu dibangun gotong royong oleh masyarakat, satu lagi di bawah komando kontraktor. Pondasi rumah pun tak akur satu sama lain.

Pondasi modern ‘melukai’ bumi, terlebih jika membuat ruang bawah tanah berlapis-lapis untuk lahan parkir, yang menyebabkan banjir. Bandingkan dengan rumah tradisional yang hanya menumpang di atas tanah. 

Walau demikian, banyak yang dapat diselamatkan dan dikelola dengan baik sehingga jadi daya tarik pariwisata. Seperti tinggal di kapal phinisi di perairan Labuan Bajo atau tinggal di rumah penduduk di Wae Rebo. Masyarakat dilibatkan dan tidak cuma sebagai penonton. 

Alhasil, jika tahun 2008 adalah puncak kemiskinan di Wae Rebo, sekarang masyarakat sudah bisa makan nasi tiap hari dan anak-anak sudah bisa bersekolah. Namun kesuksesan tersebut disusul hal yang tak terbayangkan sebelumnya, yakni ledakan pariwisata yang sudah di ambang membahayakan.

Sebelum 2008 hanya 80 wisatawan per tahun datang ke Wae Rebo, itu pun wisatawan asing semua. Tahun lalu sudah mencapai lebih dari 3000 wisatawan yang datang dalam kelompok-kelompok besar. 

“Akibatnya masyarakat kelelahan. Wisatawan datang siang malam, dan harus dijamu. Ibu-ibu yang dulu menenun di waktu senggang, sekarang habis harinya untuk menjamu tamu,” kata Yori. 

Cara sementara untuk mengerem laju yang luar biasa cepat ini adalah dengan menaikkan harga karcis masuk. Namun hal tersebut baru siasat instan dan bukan cara yang sehat untuk menyelesaikan isu abadi tradisonalisme versus modernisme. (les)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER