Jakarta, CNN Indonesia --
Tahun 2008 bisa dibilang menjadi tahun yang berat buat Mia Amalia. Selain kehilangan ayahnya, ia juga harus kehilangan sosok suami yang dulu pernah mengucap janji suci sehidup semati dengan Mia.
Mia harus bercerai dengan sang suami. Ia merasa harus mengakhiri pernikahan sebagai akhir dari penyelesaian masalah yang sedang dihadapi kala itu.
Awalnya tidak mudah bagi Mia untuk menjalani kehidupan sebagai ibu tunggal, ibu yang merawat dan membesarkan anak-anaknya tanpa bantuan suami. Apalagi pandangan orang tentang ibu tunggal selalu saja negatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untungnya, ada sosok ibu yang selalu menemani dan mendukungnya sehingga Mia bisa melewati semua terpaan itu. Setelah ayahnya meninggal, Mia mengajak ibunya untuk tinggal bersama.
"Kalau ada perceraian, selalu yang disalahkan perempuan.
Pas menjadi orang tua tunggal lain lagi, katanya 'kalau kamu mau bertahan mendingan kamu punya suami'. Susah sekali mendjadi orang tua tunggal di Indonesia," kata Mia kepada
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (22/12).
Mia bercerita, anggapan masyarakat tentang posisi perempuan yang harus selalu mengalah dari suami memang memberatkan. Ketika ada perceraian, perempuan akan disalahkan, dianggap tidak tahu diri karena sudah mempunyai suami yang baik.
Bahkan ketika suami terbukti berselingkuh, kata Mia, perempuan yang menggugat cerai juga masih saja dianggap salah, karena dianggap tidak mampu bersabar dan memaafkan.
Hal lain yang menjadi tantangan ketika Mia memutuskan untuk menjadi orang tua tunggal adalah harus menghadapi segala sesuatunya sendirian. Baik untuk urusan emosional maupun finansial.
"Sekarang semua harus dipikirkan sendiri, mengambil keputusan pun sendiri," ujar Mia yang memiliki empat orang anak, yang terdiri dari tiga perempuan dan satu laki-laki.
"Misalnya saja untuk urusan sekolah. Sekolah anak mau di mana? Kan kalau punya partner bisa riset berdua. Pembiayaan juga sama. Kalau single mom semuanya harus sendiri."
Kondisi finansial akan terasa lebih berat ketika anak bertambah besar. Mia yang tadinya berprofesi sebagai freelance pun harus mencari pekerjaan yang lebih menjamin hidupnya dan anak-anaknya.
Pasalnya ketika menjadi freelance, keuangan Mia mengalami naik turun. Finansial pun sempat macet. Tak mau berada terlalu lama dalam ketidakpastian, akhirnya Mia memutuskan untuk menjadi pekerja kantoran, berkerja di media publishing sebagai editor in chief.
Menghadapi anak pun harus Mia lakukan sendirian. Untung saja saat ini anak-anaknya mulai mengerti posisi dirinya yang memutuskan untuk bercerai dengan ayah mereka. Sampai saat ini pun tidak ada pertanyaan-pertanyaan aneh atau sulit yang dilontarkan anak-anaknya tentang perceraian Mia dan sang suami.
Di awal perceraian, Mia bercerita, anak-anaknya memang menyayangkan perceraian itu terjadi. Awalnya juga mereka menganggap Mia yang bersalah karena dirasa terlalu keras. Mereka juga kerap bertanya kepada sang nenek mengapa mama dan papa mereka tidak bersama-sama lagi.
"Tapi mereka lama-lama mengerti ayahnya seperti apa, bagaimana ayahnya memperlakukan mereka. Sekarang juga mereka jadi lebih perhatian ke saya," ujar Mia.
Menulis BukuEmpat tahun setelah bercerai dan menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, Mia beserta ketiga rekannya menuliskan semua cerita mereka dalam menjalani kehidupan sebagai ibu tunggal. Mereka menuangkannya dalam buku berjudul ‘The Single Moms’.
Berbagai tantangan menjadi ibu tunggal mereka jabarkan di buku tersebut. Mulai dari stigma perceraian dan menjadi janda, bagaimana membesarkan anak seorang diri, bagaimana membagi waktu, dan mengelola keuangan.
Tak disangka, buku tersebut juga menghasilkan manfaat yang lebih besar lagi. Waktu berselang, beberapa orang yang datang dalam acara peluncuran buku itu lantas membuat perkumpulan yang diberi nama 'Single Mom Indonesia'.
Mia mengatakan, perkumpulan ini merupakan
supporting club dari para ibu yang baru dan sudah menjalankan hidup sebagai ibu tunggal. "Misalnya yang baru bercerai, atau mau curhat, secara emosional ini menjadi support group," katanya.
Tidak hanya berbagi cerita dan pengalaman, dalam supporting group itu, para ibu tunggal juga bisa memberikan bantuan satu sama lain karena mereka tahu betapa sulitnya menjadi orang tua seorang diri.
"Beberapa kali ketika saya harus pergi bisa titip anak saya di komunitas ini," ujar Mia.
(les)