Ilmuwan Sebut Tak Ada Krisis Paruh Baya

Lesthia Kertopati | CNN Indonesia
Kamis, 14 Jan 2016 00:30 WIB
Studi sebelumnya yang menyatakan bahwa kurva kebahagiaan manusia layaknya huruf  U dan berhenti di usia 40an, dianggap tidak lagi relevan.
Ilustrasi. (Thinkstock/Lighthaunter)
Jakarta, CNN Indonesia -- Saat seseorang memasuki usia paruh baya, atau memasuki rentang umur 40an, kerap terjadi kegalauan. Wajar saja, di rentang usia tersebut, istilah ‘muda’ sudah tak lagi relevan.

Di usia 40an, seseorang biasanya sudah menikah, punya anak berusia remaja, bahkan menjelang dewasa. Kehidupan mereka mapan.

Tapi, di sisi lain, mereka juga berkutat dengan krisis paruh baya. Mereka khawatir digantikan pekerja yang lebih muda, cemas dengan kulit yang tak lagi kencang, tubuh yang tak lagi singset, atau rambut yang menipis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Imbasnya, banyak orang di usia tersebut yang tiba-tiba melakukan hal ekstrem, seperti berolahraga keras atau mencoba hobi baru yang selama ini tak pernah dilirik. Ada juga yang tiba-tiba ‘genit’, sehingga muncul istilah ‘puber kedua’.

Tapi, sebuah penelitian baru yang dilakukan di University of Alberta, Kanada, menyebut bahwa krisis paruh baya hanyalah mitos yang dikompori sejak muda.

“Krisis paruh baya sekarang menjadi fenomena yang diterima umum di dunia,” kata Harvey Krahn, kepala peneliti, seperti dilansir Daily Mail.

Tertarik dengan fenomena tersebut, Krahn melakukan penelitian untuk membuktikan adanya ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan saat seseorang memasuki usia paruh baya.

Hasilnya, studi yang dilakukan Krahn menyimpulkan bahwa krisis paruh baya, hanyalah mitos belaka.

“Selama 50 tahun lebih, kita percaya bahwa kurva kebahagiaan berbentuk seperti huruf U dengan level bahagia terendah di usia paruh baya. Tapi penelitian kami menemukan sebaliknya,” ujar Krahn.

Dia menemukan bahwa bahagia tidak berkurang dan berhenti di usia 40an ke atas, melainkan terus bertambah dari saat remaja hingga mencapai usia senja.

Studi yang dilakukan Krahn juga diklaim lebih valid karena menggunakan metoda longitudinal, alih-alih lintas faktor.

“Dalam penelitian ini, kebahagiaan seseorang diukur seiring berjalannya waktu. Dengan begitu, tingkat kebahagiaan terus terukur saat usia seseorang bertambah,” jelas Krahn.

Para peneliti mengikuti dua kelompok besar, yakni kelompok asal salah satu sekolah menengah di Kanada berusia 18-43 tahun dan kelompok dari salah satu universitas berusia 23-37 tahun. Kedua kelompok tersebut menunjukkan kebahagiaan tertinggi berada di usia 30an dan hanya sedikit menurun saat memasuki usia 40an.

Penelitian itu juga melibatkan berbagai kejadian besar dalam hidup para partisipan, seperti putus-sambung hubungan asmara, pekerjaan, serta hubungan dengan keluarga.

“Kami menemukan orang-orang merasa lebih puas dan bahagia setelah mereka menikah, atau punya kondisi fisik yang prima, sementara mereka paling tidak bahagia saat tidak punya pekerjaan. Semua itu, tidak berkaitan dengan usia,” tutur Krahn.

Studi tersebut dipublikasikan di jurnal Developmental Psychology. (les)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER