Pencegahan Epilepsi Dimulai Sejak Awal Kehamilan

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Kamis, 24 Mar 2016 11:41 WIB
Selain stroke, diabetes dan jantung, penyakit epilepsi adalah penyakit yang bisa mengancam semua orang dan tanpa peringatan dini.
ilustrasi kehamilan (Thinkstock/g-stockstudio)
Jakarta, CNN Indonesia -- Stroke, diabetes, dan jantung adalah penyakit yang banyak ditakuti orang. Pasalnya, penyakit tersebut bisa mengancam siapa saja, usia berapa pun dan juga tingkat ekonomi mana pun.

Sebenarnya selain ketiga penyakit tersebut, penyakit yang juga bisa menyerang siapa pun, tanpa peringatan adalah epilepsi.

"Tidak ada tindakan yang dapat menghalangi terjadinya epilepsi pada orang dewasa," kata Irawati Hawari, dokter sekaligus Ketua Umum Yayasan Epilepsi Indonesia saat berbincang dengan CNNIndonesia.com saat seminar media tentang epilepsi di Le Meridien Hotel, Rabu (23/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bisanya dicegah saat masih dalam kandungan, dijaga supaya janinnya sehat. Kadang-kadang ibu juga tidak menyadari bahwa dirinya hamil, dan tidak ada yang tahu apakah ada virus atau semacamnya. Jadi pemeriksaan di awal kehamilan itu sangatlah penting," ucap Ira.

Ira menambahkan, upaya pencegahan epilepsi saat kehamilan ini bisa dicegah dengan menjaga asupan gizi yang tepat.

"Sekarang banyak ibu-ibu yang hamil dan ngidam. Tak perlu sampai begitu, yang penting asupan gizinya saat hamil asupannya harus terjaga dan bergizi," kata Ira.

Epilepsi atau lebih dikenal dengan ayan atau sawan adalah penyakit yang disebabkan gangguan saraf di otak. Gangguan neurologi ini berupa aktivitas listrik saraf abnormal yang menyebabkan serangan kejang.

Bentuk lain dari serangan epilepsi adalah perubahan tingkah laku, kesadaran, dan perubahan lain yang timbul baik terasa ataupun terlihat. Biasanya epilepsi didiagnosis setelah seseorang mengalami kejang setidaknya dua kali tanpa sebab tertentu.

Berbagai sebab dapat menjadi alasan terjadinya kerusakan pada jaringan saraf otak. Beberapa di antaranya adalah pembentukan otak tak sempurna karena kehamilan yang kurang terjaga dengan baik, penyakit yang menyerang otak, hingga trauma karena kecelakaan ataupun tindakan tertentu.

Namun, menurut Epilepsy Society ada tiga jenis penyebab epilepsi. Pertama adalah simptomatik yang disebabkan oleh cedera, infeksi seperti meningitis, otak yang tidak berkembang, stroke, kelainan struktur organ, dan tumor. Pemindaian dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat menunjukkan penyebab lebih detil.

Kedua adalah idiopatik, dan ketiga adalah kriptogenik Kedua hal tersebut masih diteliti penyebabnya.

"Epilepsi ini tidak ada deteksi dininya, karena yang sudah pasti menderita epilepsi kadang tidak menyadari bahwa ia terkena epilepsi."

Kondisi epilepsi yang menyebabkan terjadinya serangan listrik pada saraf dalam sesaat membuat gejalanya jadi sulitnya dideteksi seperti penyakit lain. Bisa jadi, saat pemeriksaan dan pengujian menghasilkan laporan yang baik karena dalam kondisi normal.

"Makanya pada epilepsi ini didiagnosis berdasarkan cerita, sehingga kesaksian orang terdekat sangat penting. Bisa jadi kita runut nanti mulai dari saat ia berada dalam kandungan, apakah pernah ada tindakan seperti divakum, karena semua hal bisa jadi penyebab epilepsi," kata Ira.

Namun Ira menyebutkan bahwa kemungkinan epilepsi hidup selayaknya orang sehat sangat besar, selama ia dapat mengendalikan serta teratur mengonsumsi obat anti-epilepsi guna mencegah bangkitan atau kejang terjadi kembali.

Butuh Dukungan

Menurut laporan the International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2014, ada 60 juta orang dengan epilepsi (ODE) di dunia. Di negara berkembang, prevalensi epilepsi berkisar 3,5 sampai 10,7 per seribu orang dengan angka insiden rata-rata 24 sampai 53 per 100 ribu orang per tahun.

Di Indonesia, ODE sendiri tercatat mencapai 1,1 sampai 8,8 juta orang. ODE tersebar dalam berbagai usia, mulai dari bayi hingga orang lanjut. Prevalensi tertinggi terjadi pada bayi dan anak-anak dan orang lanjut usia.

"Menurut saya, penting bagi lingkungan untuk sadar akan epilepsi sehingga mereka dapat memberikan tindakan yang tepat untuk ODE," kata Aska Primardi, praktisi psikologi sekaligus orang dengan epilepsi (ODE), saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, pada kesempatan yang sama.

Sayangnya menurut Aska, seringkali dukungan lingkungan terhadap ODE kadang diberikan berlebihan dengan cara mencegah ODE beraktivitas selayaknya orang sehat. Kondisi tersebut justru menjadi tekanan dan masalah bagi psikologis ODE sehingga dapat memperparah kondisi epilepsi yang dideritanya.

Selain itu, perlindungan yang berlebih dapat menyulitkan ODE untuk mandiri dan menangani masalah epilepsi yang dimilikinya. Padahal hal ini penting demi kemandirian psikologis ODE.

"Sebenarnya sangat mungkin ODE melakukan kegiatan normal seperti yang lainnnya. Orang tua juga dapat mengawasi tanpa membuat ODE merasa terawasi, mungkin dengan hanya sekadar menemani untuk mengantisipasi terjadinya serangan," kata Aska.

P3K pada ODE

Berbagai tindakan dapat dilakukan untuk menghadapi ODE ketika serangan epilepsi terjadi. Seperti menghindari terjadinya benturan kepala dari benda tajam dan panas atau berbahaya, melonggarkan pakaian dan memiringkan kepala ke samping agar memudahkan pernapasan ODE, kemudian membiarkan kejangnya berlangsung tanpa melakukan tindakan yang dapat membahayakan ODE.

Setelah kejang atau serangan terjadi, ODE akan merasa kelelahan yang amat sangat maka biarkan ia istirahat. Kemudian lingkungan dapat melaporkan kepada keluarga terdekatnya, atau bila terjadi serangan yang berulang dalam waktu singkat, dapat segera dibawa ke rumah sakit.

Namun semua ini harus dilakukan dengan kondisi lingkungan terdekat ODE saat serangan dalam kondisi tenang.

"Yang dibutuhkan ODE itu adalah kepercayaan bahwa ia juga dapat beraktivitas seperti orang normal lainnya. Memang ada keterbatasan secara fisik tidak dapat sekuat yang lain, tapi sangat mungkin seperti orang pada umumnya." kata Aska. (chs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER