Teknologi Kesuburan Ikut Sebabkan Risiko Lahir Cacat

Silvia Galikano | CNN Indonesia
Selasa, 05 Apr 2016 14:40 WIB
Risiko komplikasi bisa disebabkan usia ibu saat hamil dan faktor kesehatan lainnya.
Ilustrasi ibu hamil. (GGOMANG/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Perempuan yang menggunakan teknologi bayi tabung (in vitro fertilization - IVF) dan teknologi reproduksi lainnya cenderung mendapat anak dengan cacat lahir dibanding yang menggunakan cara konvensional, demikian kesimpulan sebuah studi di Amerika Serikat.

Penulisnya mencantumkan bahwa penemuan tersebut masih terlalu awal dijadikan dasar untuk mencegah perempuan mengupayakan kehamilan dengan cara ini, seperti diberitakan Reuters.

Meningkatnya risiko komplikasi, menurutnya, bisa disebabkan usia ibu saat hamil dan faktor kesehatan lainnya sehingga perempuan sejak awal memutuskan mencoba teknologi reproduksi bantuan (assisted reproductive technology-ART) ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tim studi tersebut belum dapat merumuskan apa penyebab meningkatnya risiko cacat lahir pada bayi yang menggunakan ART, ujar Dr. Sheree Boulet, ilmuwan kesehatan di divisi kesehatan reproduksi di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS yang mengepalai penelitian.

“Naskah kami menunjukkan bahwa faktor penyebab ketidaksuburan – yang membuat banyak pasangan menggunakan caraART – dapat meningkatkan risiko cacat lahir,” kata  Boulet menambahkan.

Boulet dan koleganya meninjau ulang data lebih dari 4,6 juta bayi yang lahir di Florida, Massachusetts dan Michigan pada (2000 hingga 2010).

Sekitar 1,4 persen dari bayi tersebut, atau kira-kira 65.000, dari ibu yang menggunakan teknologi reproduksi, menurut laporan JAMA Pediatrics.

Secara keseluruhan, untuk setiap 1000 bayi, 59-nya hamil menggunakan ART, dan setidaknya satu lahir dengan cacat non genetik. Sedangkan 48 dari mereka hamil dengan cara konvensional.

Sebagian besar perempuan tidak menggunakan ART sebelum berusia 30 tahun, sementara mayoritas perempuan yang hamil menggunakan teknologi reproduksi berusia setidaknya 35 tahun.

Bahkan setelah peneliti menyesuaikan usia ibu dan karakteristik kesehatan lainnya, anak-anak yang lahir melalui ART 28 persen cenderung punya cacat lahir ini dibanding bayi yang lahir tanpa teknologi reproduksi.

Di antara bayi yang lahir setelah proses ART, yang dikenal sebagai transfer embrio segar, risiko cacat lahir 53 persen lebih besar pada perempuan yang punya gangguan ovulasi. Transfer embrio segar adalah ketika seorang perempuan dirangsang dengan obat kesuburan, lalu telurnya diambil, dan embrionya ditanamkan, semua dengan siklus reproduksi yang sama.

Bagi perempuan sehat yang menjalani proses pembuahan buatan, risiko lahir cacat 55 persen lebih tinggi.

Satu keterbatasan studi itu, menurut sang penulis, adalah kurangnya data janin cacat saat kehamilan yang menghasilkan bayi lahir mati, yang bisa saja mengurangi prevalensi lahir cacat.

Juga kemungkinan perempuan yang hamil menggunakan ART, bayinya dimonitor lebih dekat, menghasilkan deteksi angka kelahiran cacat yang lebih tinggi di antara bayi-bayi tersebut.

“Walau studi tersebut menemukan perbedaan dalam risiko cacat lahir, seharusnya diingat bahwa prevalensi keseluruhan dari kecacatan ini rendah,” kata Judy Stern, profesor obsteteri, ginekologi, dan patologi di Geisel School of Medicine di Dartmouth, Lebanon, New Hampshire.

“Sebagian besar bayi yang lahir melalui program ART normal,” ujar Stern, yang tidak terlibat dalam studi tersebut. (sil/sil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER