Jakarta, CNN Indonesia -- Sekitar 137 tahun yang lalu, seorang wanita dari kalangan priayi atau bangsawan Jawa lahir di Jepara. Dialah Raden Ayu Kartini. Dia lahir layaknya putri bangsawan lain kala itu, namun tak ada yang menyangka perlawanan terhadap tradisi feodal yang ia lakukan akan tetap dikenang oleh seluruh Nusantara seabad kemudian sebagai embrio kesamaan hak dan kesetaraan gender.
"Saat ini kebebasan perempuan itu sudah banyak sekali, bahkan perempuan di Indonesia diperbolehkan menduduki posisi politik, ini suatu capaian luar biasa," kata Amurwani Dwi Lestariningsih, Kasubdit Sejarah Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com, pada Selasa (19/4).
Kesemarakan dan keanekaragaman Indonesia memang terlihat. Namun yang jadi pertanyaan besar, masih relevankah semangat perayaan ini dengan semangat Kartini yang sejati?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amurwani mengisahkan permulaan perayaan Hari Kartini dimulai ketika Presiden pertama RI, Soekarno, menandatangani Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964 lalu. Isi dari Keppres tersebut menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, diperingati tiap tahunnya sebagai hari besar.
Keputusan tersebut disambut baik oleh para pejuang kesetaraan perempuan yang saat itu tergabung dalam berbagai organisasi masyarakat. Ormas tersebut kemudian membantu pemerintah mensosialisasikan Hari Kartini kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama sekolah sebagai wadah pendidikan.
Tujuan agar anak-anak mengerti bahwa keberadaan perempuan bukan lagi sesuai aturan tradisional. Dalam adat Jawa misalnya, perempuan dianggap sebagai
konco wingking. Konco wingking berarti "di belakang suami" yang bermakna kemanfaatan perempuan hanya sebatas untuk mendukung suaminya. Misalnya, mengurus suami, anak-anak, dan keluarga. Tidak lebih dari itu.
Nilai inilah yang ingin didobrak oleh Kartini. "Kartini yang menggebrak tradisi perempuan. Saat itu, apa yang ia lakukan termasuk luar biasa, ia melepas gelar bangsawannya, mau dianggap sejajar dengan rakyat biasa, ketika ia tidak jadi disekolahkan. Bagi Kartini, buat apa gelar bangsawan bila hanya menjadi
konco wingking?" kata Amurwani.
Pengekangan terhadap perempuan dalam budaya kuno di Nusantara inilah yang dianggap pemerintah kala itu sebagai bagian lain dari penjajahan. Maka perayaan Hari Kartini adalah upaya penyadaran membebaskan perempuan dari belenggu tradisi kuno untuk kemajuan diri dan sekelilingnya.
Mulai Bergeser MaknaKepopuleran Kartini pun makin besar di kalangan perempuan. Dia dianggap sebagai pahlawan emansipasi perempuan. Tanggal 21 April yang sudah ditetapkan sebagai Hari Kartini per tanggal 2 Mei 1964 pun diabadikan lewat berbagai perayaan.
Sampai saat ini, Hari Kartini diperingati dengan berbagai kegiatan seperti lomba memasak, menjahit, dan semacamnya. Selain lomba yang diikuti oleh orang dewasa, di sekolah-sekolah juga mulai diterapkan penggunaan baju tradisional pada saat Hari Kartini. Tak diketahui sejak kapan dan siapa memulai kegiatan yang kemudian menjadi "tradisi' mengenakan baju-baju daerah.
"Mungkin sekolah ingin mengenalkan Kartini secara harfiahnya seperti apa, terutama di Pulau Jawa. Tapi jauh dari itu, Pemerintah ingin menyampaikan filosofi bahwa Kartini itu wanita Jawa yang terkungkung kemudian berontak dari tradisi dengan pikiran yang melampaui zamannya," kata Amurwani.
"Saat ini kan kebanyakan orang mengenakan baju Barat, namun mengenakan baju daerah pun harusnya punya pemikiran seperti Kartini, bukan berarti mengenakan baju tradisional berarti jadi tertinggal akibat tradisi."
Sayangnya, dia mengatakan saat ini terasa ada pergeseran makna yang terjadi. Perayaan yang seharusnya penuh makna ini menjadi sekadar perayaan memakai kebaya, batik, baju tradisional daerahnya masing-masing.
"Saya melihat saat ini banyak sekali pergeseran makna dalam mengartikan Hari Kartini. Ini peringatan seremonial mengenakan baju daerah saja," ujarnya.
Yang dibutuhkan menurut Amurwani kini adalah kegiatan penelusuran pemikiran Kartini kala itu agar filosofi Kartini benar-benar dipahami dan menjadi pola pikir masyarakat untuk maju.
"Beragamnya baju daerah pada Hari Kartini sebenarnaya bisa jadi simbol. Meski berasal dari berbagai daerah yang berbeda namun tetap memiliki cita-cita yang sama dengan filosofi Kartini."
Bukan cuma Amuwarni yang merasakan adanya pergeseran makna Kartini lewat adanya 'kewajiban" murid-murid sekolah untuk memakai busana tradisional. Maulita Iqtianti, seorang
blogger sekaligus ibu rumah tangga mengungkapkan ketidaksetujuannya akan perayaan Hari Kartini dengan baju-baju daerah.
"Menurut saya enggak perlu pakai baju daerah. Lebih setuju pakai baju yang menggambarkan cita-cita, jadinya bisa lebih
empowering, enggak sekadar bikin ribet orangtuanya," kata perempuan yang disapa Lita kepada CNNIndonesia.com.
"Apalagi sekarang ini banyak ibu-ibu yang kompetitif, Hari Kartini jadi ajang rebutan piala pakai baju daerah terbaik. Anak-anaknya didandani dari pagi hari demi dapat piala."
Dia sendiri mengungkapkan bahwa saat anaknya diharuskan untuk mengikuti ajang Hari Kartini, dia tak mau pusing-pusing untuk mendandani anaknya sampai "menor" demi piala. "Buat saya, enggak ada artinya buat si anak, apalagi kalau tidak diberi pengertian."
Sedikit berbeda dengan Lita, Yuna Eka Kristina seorang
public relation sekaligus ibu dua orang anak perempuan berpikir perayaan ini ada nilai positif dan negatifnya.
"Memang sih esensi dari perayaan Kartini-nya agak hilang, anak-anak jadi fokus pada baju daerah dan perlombaannya," kata Yuna.
Hanya saja di balik itu, Yuna masih memiliki anggapan positif soal perayaan Hari Kartini. Dia melihat, perayaan dan penggunaan baju daerah ini punya manfaat yang baik untuk anak.
"Anak-anak tahu sejarah dan anak-anak jadi tahu budaya. Bonusnya bisa melatih kepercayaan diri anak," kata Yuna.
"Buat orang tuanya juga seru. Jiwa kompetitif pasti ada untuk bisa menang, tapi bagaimana orang tua menjelaskan ke anak. Yang penting orang tua bisa memotivasi anak untuk jadi lebih berani."
(chs)