Bahkan Senter Bisa Merusak Biota Gua

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Senin, 23 Mei 2016 04:00 WIB
Banyak wisatawan yang tidak tahu kondisi lokasi dan tak tahu bagaimana harus berperilaku.
Gua Pawon Citatah. (Thinkstock/PytyCzech)
Jakarta, CNN Indonesia -- Esensi berwisata, untuk menikmati keindahan alam, mulai disalahartikan. Mau menikmati, tak mau melestarikan.

Terlebih, di tengah populernya penggunaan media sosial membuat orang kerap lupa bahwa tak hanya dirinya yang perlu 'eksis' di dunia maya, tetapi alam pun juga perlu eksis hingga mendatang.

Menjalani keseharian sebagai pemilik tur operator Stalagmite Adventure, Ondo Sirait bertemu beragam karakter wisatawan. Sebagian besar wisatawan yang ia bawa tak mendengarkan panduannya tentang apa saja yang harus mereka persiapkan sebelum berangkat ke lokasi wisata.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Banyak sekali wisatawan yang tidak tahu kondisi lokasi. Bagaimana untuk bersikap yang baik dan benar, bahkan hingga kelakuan yang ketika sampai, tidak ikut beraktivitas sama sekali. Ada juga yang mau dididik dari nol hingga benar-benar sampai pada tahap yang diharapkan," ungkap Ondo ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (20/5)

Tak selalu karena wisatawan

Ondo menegaskan ada standar yang harus peserta pahami tentang apa yang akan dilakukan selama trip. Pasalnya banyak wisatawan yang menurutnya tidak mempersiapkan diri, bahwa lokasi wisatanya adalah laut.

"Misal aktivitasnya adalah snorkeling. Ada dari mereka yang tidak mau mencari atau mengisi ilmunya tentang bagaimana snorkeling yang baik dan benar. Berlatih snorkeling juga sering jadi masalah. Karena yang baik adalah berlatih dulu di kolam renang, tapi kebanyakan dari mereka malah malu," ujarnya.

Menurutnya, ketika snorkeling tidak hanya kemampuan berenang yang harus dimiliki, tapi juga kesiapan mental.

"Ini berbicara soal mental, meski di kolam oke, tapi tak sedikit ketika di laut yang tak ada batas kanan kiri depan belakang, bisa gugup lagi. Kalau mau ya harus bisa menempatkan diri sebagai wisatawan yang nyaman berwisata," ungkapnya.

Perihal menikmati alam tidak hanya menyangkut diri sendiri. Ada hal lain yang harus diperhatikan ketika berwisata, yaitu keberadaan makhluk hidup lain. Sebelum snorkeling, ujar Ondo, dia selalu menegaskan kepada pesertanya untuk tidak menyentuh, mengambil, mengubah, atau memindahkan biota laut.

"Contoh, coral yang bentuknya menyerupai batu yang kerap dijadikan tempat bersandar ketika wisatawan kelelahan. Padahal itu mengganggu dan merusak. Tingkat pertumbuhan coral itu standarnya 3 milimeter per tahun tanpa adanya perubahan iklim dan gangguan lain," kata Ondo.

Menjadi seseorang yang bertanggungjawab terhadap wisatawan yang ia bawa, terkadang Ondo terpaksa memilih berlaku tegas dengan tidak membawa wisatawannya ke lokasi terbaik untuk snorkeling. Terlebih jika spot snorkeling yang bagus itu berat, arus permukaan lumayan kuat. Dia akan mengalihkan ke lokasi ke-dua atau ke-tiga

"Saya sendiri akan lebih galak. Ada standar untuk latihan di tempat yang berpasir. Ketika latihan tidak berhasil atau masih gugup, kami tidak akan bawa ke spot yang benar-benar dia dapat beraktivitas snorkeling. Kami tidak mau karena membahayakan si subjek, yaitu peserta, dan objek yaitu, biota laut," ungkapnya.

Namun demikian tak sepenuhnya kerusakan lokasi wisata adalah salah wisatawan. Tak jarang orang-orang sekitar, masyarakat lokal, yang menjual daerahnya, agar ramai dikunjungi.

"Problem utama adalah masyarakat lokal melihat ini sebagai kegiatan wisata yang sedang 'booming', kesempatan untuk mendapatkan uang. Banyak kejadian, mereka yang kurang paham lokasi dan kurang paham apa yang harus dilakukan, berani mengajak orang ke situ," ujarnya.

Ondo Sirait. (Dok. Pribadi)


Biota gua lenyap

Tak hanya laut yang kurang dijaga kelestariannya. Ondo menemukan gua dan gunung juga sering diabaikan wisatawan serta operator yang tak bertanggungjawab.

Ia memberi contoh Gua Pindul di Yogyakarta yang kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Masalah di Gua Pindul adalah jumlah pengunjung yang tak terkontrol saat musim liburan, kelelewar yang semakin sedikit, dan penghambatan ornamen dalam gua.

"Mereka menghambat pertumbuhan ornamen gua. Penggunaan senter membuat iklim dalam gua terganggu. Yang biasanya gelap gulita, kini biotanya lenyap belum tahu ke mana karena belum ada yang meneliti," katanya.

Dengan alasan itu, Ondo menolak permintaan jadi operator ke Gua Pindul pada akhir pekan atau libur panjang. Dia akan mengalihkan ke kegiatan berkeliling desa atau kota naik sepeda ketimbang ikut bertanggung jawab atas kerusakan gua.

Gunung Rinjani juga, menurutnya, sama-sama kurang terkontrol dalam hal penataan dan penjagaan.  Dia menyebut Rinjani sedang 'sakit' akibat banyak sekali sampah.

Banyak yang tidak bertanggung jawab membuang kotoran di jalur pendakian. Tak heran, jika terus begini, beberapa tahun lagi akan jadi kubangan sampah.

"Ketidaksadaran wisatawan dan aturan yang tidak baku adalah kombinasi yang menyebabkan semua ini terjadi,” ujar Ondo. “Esensinya adalah lestari. Pelestarian ini penting karena alam bukan milik kita, tapi meminjam dari anak-cucu kita di masa depan.” (sil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER