Jakarta, CNN Indonesia -- Arya Sadhewa, pemilik Arya Sadhewa Adventure, sejak 2003 membuat trip ke tempat-tempat bersejarah di dalam dan luar negeri. Melihat jejak Kerajaan Buton di Baubau, Kesultanan Jailolo, mengunjungi Ternate, Iran, Yunani, hingga Rusia, untuk menyebut beberapa.
Menurutnya, sejauh ini semua baik-baik saja, dalam arti, peserta tak melakukan pelanggaran yang berarti. Sampah dibuang di tempat sampah, tidak mencoret atau menggores dinding di tempat wisata, dan banyak bertanya kepada pemandu.
"Sebetulnya mereka mengerti, umumnya orang dewasa dan semuanya terpelajar. Saya juga pernah bawa rombongan mahasiswa ke luar negeri, mereka tertib kok. Tidak menemui kendala yang ekstrem," ujar Arya dalam perbincangan dengan
CNNIndonesia.com, Jumat (20/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bisa jadi karena sebelum berangkat, Arya selalu mengadakan
briefing dengan calon peserta untuk sekilas menjelaskan lokasi-lokasi yang akan didatangi berikut aturan yang berlaku di sana. Misalnya tidak menyentuh artefak, selalu menjaga lisan, mematuhi aturan tak tertulis, dan menginformasikan adanya kepercayaan tertentu masyarakat setempat.
"Contohnya, sebelum ke Ende, kami beri tahu kalau di sana ada rumah Bung Karno. Di belakang rumah itu ada sumur. Kalau mandi air sumur itu, bisa awet muda kayak saya," ujar Arya tergelak.
Di luar negeri, aturan yang diterapkan situs-situs bersejarahnya terbilang ketat. Di Angkor Wat, misalnya, calon pengunjung harus menandatangani pernyataan tak akan naik ke tempat-tempat tertentu. Walau tak ada pemandu, mereka mematuhi aturan tersebut.
Di tempat kelahiran Buddha Gautama di Lumbini, Nepal, tas, ponsel, kamera harus dititipkan di locker. Kuncinya dibawa masing-masing pengunjung. Tak ada yang dapat memotret.
Kamera juga terlarang di Nepal dan di Istana Potala di Lhasa, Tibet. Di setiap sudut istana dipasangi kamera CCTV.
"Di Potala, emas berlian dan ada satu gunung," ujar Arya. "Dulu, raja-raja kecil menyumbang pakai emas dan berlian. Tapi ya gitu, tidak ada fotonya, kecuali foto luar istana."
Selain mematuhi aturan yang ditetapkan lokasi wisata, Arya juga punya aturan khusus untuk trip ke tempat-tempat rawan, seperti Kashmir, yakni dilarang keluar hotel jika sudah malam, karena nyawa taruhannya.
Seluruh aturan, tertulis dan lisan, secara tegas dia terapkan ke peserta. Pasalnya, dulu pernah ada kejadian kurang mengenakkan saat Arya membawa rombongan ke Baduy Dalam, Banten.
Sejak malam, rombongan yang bermalam di rumah penduduk itu sudah kasak-kusuk cari akal bisa memotret sebagai "bukti" sudah ke Baduy Dalam, padahal memotret adalah larangan keras di sana. Keesokan paginya, saat mandi di sungai, diam-diam mereka memotret.
Yang terjadi kemudian, dalam perjalanan pulang, bus rombongan ini berputar-putar di gunung, tersasar berjam-jam. Yang seharusnya siang sudah sampai Jakarta, baru malam harinya tiba di Bintaro.
"Padahal saya sering ke Baduy. Saya hafal jalannya. Kok ini bisa sampai tersasar? Pasti karena tadi melanggar aturan," ujar Arya.
 Arya Sadhewa. (Dok. Pribadi) |
Pengalaman lain yang dia alami di Baduy Dalam adalah saat membawa rombongan kecil ibu-ibu PNS. Tiba di sana, ternyata Baduy Dalam sedang ditutup untuk orang luar, kecuali hendak "
ngelmu" dengan syarat, antara lain, membeli kafan dan bunga.
Setelah membeli benda-benda tersebut, Arya dan rombongan harus terlebih dahulu menemui pu'un (ketua adat tertinggi) di Cikeusik, Pandeglang. Namun karena untuk masuk pun harus antre, mereka menginap dahulu di rumah pu'un yang di dalamnya ada tengkorak.
Sewaktu akhirnya rombongan diizinkan masuk, ibu-ibu PNS ini malah mengurungkan niat. Akhirnya Arya dan dua stafnya yang masuk. Mereka masing-masing pulang membawa "bekal" batu dan keris.
"Celakanya, setelah itu, saya bisa melihat makhluk halus. Bude saya tanya, saya habis dari mana, karena dia lihat ada dua orang berbadan besar mengawal ke mana-mana."
Karena kemampuan baru ini membuatnya tak nyaman, Arya membuang bekal tersebut di sungai. Bukan sembarang sungai, melainkan harus yang bercabang dua. Akhirnya ditemukanlah sungai yang dimaksud, yakni hulu Ciliwung di Puncak, Jawa Barat, yang dia jumpai banyak orang bertapa di sana.
Setelah 13 tahun mengelola perjalanan, Arya mengklaim tripnya
zero-accident. Selain wajib mematuhi aturan, dia membatasi jumlah peserta maksimal 15 orang. Andaipun lebih, maka kelompok harus dipecah dua, agar semua terawasi.
(sil)