Jakarta, CNN Indonesia -- Problematika kesehatan masyarakat di Indonesia seolah tak berujung. Dari urusan akses hingga fasilitas kesehatan yang belum merata hingga ke daerah terpencil.
Imbasnya, rapor Indonesia soal kesehatan masyarakat di mata Badan Kesehatan Dunia (WHO) masih merah. Banyak kasus epidemi yang belum sepenuhnya tertangani, seperti demam berdarah, malaria, difteri, hingga HIV/AIDS.
Terlebih, akses kesehatan bagi masyarakat di wilayah terpencil sangat mengkhawatirkan. Distribusi alat-alat medis dan obat-obatan yang terbatas, hingga minimnya tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, secara nasional, kini warga Indonesia dijamin oleh asuransi sosial kesehatan seperti BPJS Kesehatan.
Tapi, adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari pemerintah ini bagai membuka keran air. Masyarakat berbondong-bondong melakukan eksodus pemeriksaan kesehatan dan meminta pengobatan, yang secara otomatis menambah jumlah angka masyarakat yang sakit secara nasional.
Imbas lainnya, pemerintah harus membayar biaya asuransi kesehatan yang sangat besar.
Kementerian Kesehatan yang diwakili oleh Staff Khusus Menteri Kesehatan bidang Kemitraan dan SDG Diah S. Saminarsih, menyatakan pada kuartal ketiga tahun 2015, reimburse dana kesehatan yang dicatat Kemenkes sebesar lebih dari Rp41 triliun.
“Dari jumlah tersebut, lebih dari Rp9 triliun habis untuk menangani penyakit kronis,” kata Diah, di acara diskusi ‘Indonesia Menuju Sustainable Development Goals di Bentara Budaya Jakarta’, pekan lalu.
Adapun, catatan Kemenkes menyebut, sepanjang 2015, penyakit kronis yang paling banyak dilaporkan adalah penyakit jantung sebanyak 3,95 juta kasus. Kemudian penyakit ginjal kronik sejumlah 1,2 juta kasus, kanker 724 ribu kasus, stroke 468 ribu kasus, dan kemudian diikuti oleh hepatitis, thalasemia, dan haemophilia.
Kendati angkanya masih memprihatinkan, Diah menyebutkan jumlah tersebut menurun dari catatan 2014.
"Lihat 70 tahun ke belakang, Indonesia baru tiga tahun terakhir memiliki asuransi sosial. Artinya, sebelum ini, masyarakat belum punya akses ke fasilitas kesehatan. Bagi yang ingin mengakses harus punya uang.
Nah ketika saat ini dibiayai, ini semacam ‘tsunami’ atau eksodus menjangkau fasilitas kesehatan," paparnya.
Pada akhir 2015 lalu, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengungkapkan bahwa 33 persen pengeluaran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Sosial Kesehatan digunakan membiayai rawat inap. Selain itu, sebesar 30 persen beban biaya digunakan untuk rawat jalan.
Nila sendiri kala itu mengakui bahwa keluhan yang datang sebagian besar berupa penyakit katastropik, seperti jantung, stroke, dan ginjal. Penyakit katastropik adalah penyakit berbiaya tinggi dan secara komplikasi dapat menjadi ancaman jiwa. Penyakit ini membutuhkan penanganan komprehensif.
Dibukanya 'keran' fasilitas kesehatan untuk dijangkau berbagai lapisan masyarakat membuat berbagai fasilitas kesehatan 'dibanjiri' pasien hampir setiap hari. Ini juga menyebabkan lonjakan angka penderita yang selama ini belum terdeteksi.
"Angka kejadian tersebut adalah potret selama 70 tahun terakhir dan akses ini yang membuat semua naik ke permukaan. Namun bagusnya adalah, dengan adanya layanan kesehatan ini, sehingga tidak ada yang merasa tertinggal. Tentu layanan masih terus dibenahi, profil masyarakat juga semakin jelas hingga memudahkan memberikan pelayanan kesehatan," kata Diah.
 Puskesmas harus bisa menjadi penyedia jasa kesehatan primer bagi masyarakat. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono) |
Optimalisasi PuskesmasDalam meningkatkan layanan kesehatan, salah satu hal yang tengah diperkuat oleh Kementerian Kesehatan adalah transformasi Puskesmas sebagai penyedia jasa kesehatan primer bagi masyarakat.
Persyaratan harus mendapatkan pemeriksaan atau rujukan dari Puskesmas terlebih dahulu dalam sistem BPJS, bermaksud mencegah ketimpangan yang terjadi pada sistem pelayanan kesehatan.
Diah mencontohkan yang terjadi di Belanda setelah 40 tahun pembangunan layanan kesehatan, pelayanan kesehatan yang merujuk tindakan di rumah sakit hanya sepuluh persen. Semua karena penyedia layanan kesehatan primer sanggup membendung pasien yang datang. Demi mewujudkan seperti itu, Kemenkes mendorong Puskesmas terus memperbaiki diri.
"Sudah ada peraturan bahwa Puskesmas harus bisa menangani 155 macam penyakit, analisa laboratorium dasar, pelayanan dan edukasi agar menjaga masyarakat tetap sehat. Itu sudah berlaku di seluruh dunia, pelayanan primer ada guna mencegah kebocoran," kata Diah.
"Biaya di rumah sakit juga tinggi, sehingga kami berusaha membuat layanan yang efektif dan efisien namun tidak semata ada. Sangat butuh kompetensi yang tidak main-main. Dan transformasi ini sedang berlangsung, kalau ditanya sampai kapan, berkaca dari Belanda, Indonesia mesti ambil nafas panjang."
(les)