Loa Kulu, CNN Indonesia -- Samar-samar tergambar di ingatan Kepala Adat Suku Dayak Kenyah di Lung Anai, Ismail Lahang, tentang proses migrasi merekah hingga sampai ke tempat bermukim saat ini di Desa Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kalimantan Timur.
Waktu itu, sekitar 1960-an mereka harus bermigrasi dari kampung halamannya di dataran tinggi Apo Kayan, dekat perbatasan Indonesia-Malaysia.
Beberapa informasi menyebutkan kepindahan mereka karena adanya peristiwa Ganyang Malaysia pada 1963-1966 yang membuat mereka harus meninggalkan tanah asalnya. Tentara melakukan propaganda agar mereka tinggal mendekati kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, menurut Suku Dayak Kenyah sendiri, perpindahan yang mereka lakukan semata-mata karena ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Selain itu tradisi mereka membuat ladang berpindah juga menjadi salah satu alasan mereka tidak pernah menetap.
Waktu bermigrasi Ismail tak ingat berapa umurnya kala itu. Sebab, orang Dayak tak pernah mengingat tanggal. Mereka hanya memakai sistem mengingat momen untuk menandai suatu hari penting.
Hingga kini pun, Ismail tak tahu pasti berapa usianya. Identitas di KTP hanya berdasarkan terkaan.
Satu yang dia ingat, dulu ia digendong ke sana ke mari ketika sukunya berpindah tempat. Ismail mengatakan sempat berpindah beberapa kali sampai akhirnya tiba di Lung Anai.
Dari kampung Apo Kayan mereka berjalan menyusuri sungai. Tempat yang pertama disinggahi adalah Lekaq Way. Sempat berdiam beberapa lama dan membuat ladang, perjalanan hidup terus dilanjutkan ke Belinau dan hingga ke Pedohon.
Dari Pedohon mereka berpindah lagi. Akhirnya langkah mereka terhenti di daerah yang disebut Ismail sebagai Gemar Lama. Di sana mereka sempat tinggal selama sepuluh tahun.
"Dari sana kami mulai naik perahu, menuju Gemar Baru," kata Ismail.
 Kepala Adat Suku Dayak Kenyah di Lung Anai, Ismail Lahang, saat merayakan Pesta Panen. (CNN Indonesia/Tri Wahyuni) |
Setelah menetap di Gemar Baru, juga selama sepuluh tahun, mereka berpindah lagi menuju Sentosa, Long Segar, dan akhirnya sampai ke Lung Anai.
"Di perjalanan banyak juga yang mati," ujar Ismail.
Soal migrasi Suku Dayak Kenyah, Kepala Desa Lung Anai, Uluk, juga punya cerita lain. Berbeda dengan Ismail yang mengalami pindah tempat sampai delapan kali, Uluk hanya mengalami pindah tempat tiga kali.
"Dulu kami naik perahu. Satu perahu empat keluarga. Keluarga saya waktu itu, karena mamak saya sudah meninggal waktu kecil, jadi jumlahnya empat orang," kata Uluk.
Salah satu momen yang paling ia ingat adalah ketika perahu yang mereka tumpangi sempat mengalami kecelakaan. Perahu mereka porak poranda setelah menghantam batu.
Untungnya, sejak kecil Uluk sudah pandai berenang. Walau arus sungai cukup deras ia bisa menyelamatkan diri. Kala itu, semua penumpang kapal selamat.
Hanya saja, semua barang-barang, termasuk persediaan makanan hilang terbawa arus.
"Padahal tidak terlalu berbahaya, jeram yang deras juga sudah lewat. Cuma karena kurang hati-hari jadi menabrak batu. Kami meneruskan perjalanan dengan menumpang perahu lain," ujar Uluk.
Tiba di Lung Anai, Kehidupan Mulai BerubahSebelum tiba di Lung Anai, mereka melakukan survei lokasi terlebih dahulu. Apakah Lung Anai layak ditinggal atau tidak? Setelah dirasa cocok, pada 1985 mereka memutuskan untuk tinggal di Lung Anai.
Namun, di kawasan tersebut sudah terdapat desa bernama Sungai Payah. Suku Dayak Kenyah ternyata tidak bisa berladang karena tanah dan hutan di sekeliling desa yang mereka tempati sudah habis oleh penduduk Sungai Payah.
"Hutan di sekeliling sini sudah habis, karena aturannya siapa yang membuka hutan dialah yang punya. Kami tidak boleh sembarang buka lahan. Terpaksa kami ke hutan yang jauh itu dan membuka ladang di sana," kata Uluk.
Waktu berlalu, akhirnya warga Sungai Payah memberikan sebagian wilayahnya untuk dihuni oleh Suku Dayak Kenyah dan Lung Anai masuk ke dalam wilayah Desa Sungai Payah.
Hingga 2005, pemerintah setempat melempar wacana menjadikan Lung Anai sebagai desa definitif. Artinya, Lung Anai akan berdiri sendiri sebagai desa mandiri, tidak lagi bergabung dengan Sungai Payah.
Kami tidak boleh sembarang buka lahan. Terpaksa kami ke hutan yang jauh itu dan membuka ladang di sana. Kepala Desa Lung Anai, Uluk |
Seiring dengan wacana tersebut, ada juga rencana menjadikan Lung Anai sebagai Desa Budaya.
Wacana itu sendiri dianggap sebagian orang sebagai angin segar. Artinya mereka tidak harus berpindah-pindah lagi. Mereka punya wilayah tetap yang bisa ditempati sampai kapan pun.
Bukan tanpa alasan pemerintah daerah ingin menetapkan Lung Anai sebagai desa budaya. Ismail mengatakan, penduduk Lung Anai yang seluruhnya adalah Suku Dayak Kenyah murni, tanpa ada penduduk dari suku lainnya, menjadi alasan utama Lung Anai ditunjuk sebagai desa budaya.
"Kami juga bikin lamin waktu itu, pemerintah datang, lihat kekuatannya (budaya) kuat, itu mulai awal ditetapkan jadi desa budaya," kata Ismail.
Dua tahun berselang, Lung Anai pun akhirnya mendapatkan predikat sebagai Desa Budaya pada 2007 lalu.
Lung Anai lantas sering dikunjungi banyak orang. Apalagi ketika ada upacara adat, misalnya saja pesta panen yang dirayakan setiap Mei. Mulai dari pejabat, warga desa sekitar Lung Anai, wisatawan, sampai wartawan dari segala penjuru turut hadir.
Sejak saat itu, sang Kepala Adat mengaku banyak perubahan yang dirasakan masyarakat Dayak Kenyah di Lung Anai. Yang paling terasa tentu di bidang ekonomi.
"Dulu waktu kami di perbatasan segala keperluan sangat sulit, pengobatan pun sangat susah. Begitu kami pindah ada perubahan yang sangat luar biasa, anak bisa sekolah, hasil tani bisa dipasarkan, ada hubungan dengan pemerintah, itu suatu perubahan," kata Ismail.
Perubahan dalam PertanianSuku Dayak Kenyah di Lung Anai saat ini bisa dibilang memiliki kehidupan yang modern. Hal yang paling menonjol terlihat dari rumah-rumah penduduk yang sudah mulai menggunakan tembok bata, dan meninggalkan rumah kayu.
Di beberapa tempat terlihat mobil dan motor terparkir di depan rumah. Bahkan beberapa di antaranya keluaran terbaru.
Warganya pun sudah menggunakan ponsel maupun telepon pintar. Bahkan Desa Lung Anai sudah terjangkau signal 3G, meski hanya dari satu operator saja.
Perubahan itu dikatakan Ismail, terjadi karena adanya perubahan dalam berladang. Beberapa tak lagi hanya menanam padi gunung seperti apa yang sudah mereka lakukan turun temurun. Mereka kini juga menanam tanaman lainnya seperti pisang kepok, karet, durian, cabai, dan cokelat.
"Teman-teman yang cepat berubah, sudah panen cokelat. Pas cokelatnya bagus, pendapatannya bagus," kata Ismail.
 Salah satu ladang warga Desa Lung Anai yang ditanami padi gunung, Senin (22/5). (CNN Indonesia/Tri Wahyuni) |
Selain untuk meningkatkan pendapatan, perubahan juga dilakukan karena lahan bertani yang semakin terbatas. Ismail mengatakan lahan untuk berladang semakin terhimpit karena kehadiran perusahaan perkebunan besar.
Bertani di gunung lama kelamaan menjadi sulit. Tidak ada lahan lagi untuk menggunakan sistem ladang berpindah. Padahal itulah yang harus dilakukan ketika menanam padi gunung guna menjaga kesuburan, karena tanah yang sama tidak bisa ditanami berkali-kali jika tak ingin tandus.
"Dulu kami tanam padi gunung terus, mulai ada perubahan mengurangi padi gunung karena lahan susah, ada perusahaan, kita susah bergerak," ujar Ismail.
"Dulu yang penting lumbung padi penuh. Kalau mau durian, babi, atau ikan, tinggal masuk hutan. Setelah ada perusahaan jadi kacau balau, semua ditebang, burung-burung terbang, ke mana kami mau cari makan."
Untungnya kesulitan itu tak lantas membuat mereka putus asa dan berpasrah diri. Justru mereka terus berupaya mendapatkan kehidupan yang lebih baik, seperti apa yang dilakukan para pendahulunya, ketika meninggalkan kampung halaman mereka dulu.
Kehadiran Lembaga Sosial Masyarakat seperti Desantara dan Kemitraan yang berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pun cukup membantu kehidupan mereka. Melalui Program Peduli, warga Dayak Kenyah dibantu memecahkan masalah dan mencari solusi terbaik demi penghidupan yang lebih baik.
(meg)