Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi wanita, melahirkan anak menjadi momen istimewa. Namun bagi mereka yang memiliki sindrom postpartum depression, justru malah perasaan depresi, bersalah, hingga stres yang datang.
Di Indonesia, menurut
penelitian yang dilakukan oleh Sri Idaiani dan Bastaman Basuki dan dirilis oleh Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI pada 2012, prevalensi rasa sedih pasca persalinan sebesar 2,3 persen. Dalam arti kata lain, dari 18937 kelahiran, ditemukan 440 kasus postpartum depression.
Selain itu, Sri dan Bastaman menemukan bahwa wanita yang melahirkan bayi dengan berat badan kurang, punya risiko tinggi mengalami sindrom
baby blue, yaitu sebesar 4,8 kali lipat. Wanita yang mengalami komplikasi pasca melahirkan juga terhitung sebagai kelompok dengan risiko tinggi terkena penyakit ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penelitian yang menggunakan Riset Kesehatan Dasar 2010 tersebut bahkan juga menunjukkan wanita yang mengalami pecah ketuban dini memiliki risiko tertinggi, yaitu enam kali lipat, dibandingkan yang tidak mengalami komplikasi. Setelah pecah ketuban dini, wanita hamil yang mengalami
partus macet atau persalinan lebih dari 24 jam, memiliki risiko kena gangguan jiwa pasca-melahirkan sebesar 5,7 persen.
Partus macet adalah kondisi persalinan yang mengalami kemacetan dan berlangsung lama hingga muncul komplikasi, baik pada ibu ataupun anak.
Partus macet termasuk persalinan lebih dari 24 jam untuk
primigravida atau kehamilan perdana atau 18 jam untuk multi gravida atau bukan kehamilan perdana.
"Ada suatu teori mengenai timbulnya
postpartum depression, yaitu teori yang menyebutkan bahwa penyakit ini disebabkan penurunan hormon estrogen, dalam hal ini estradiol, yang secara fisiologis menurun setelah persalinan," kata tim dokter Klinik Konsula, Sri Habibah Sari Melati, dalam keterangan yang diterima
CNNIndonesia.com, Kamis (9/6).
"Sindrom
baby blue sendiri muncul dalam lima hari atau dua pekan pertama pasca melahirkan. Perempuan yang mengalami sindrom ini umumnya tidak mau berinteraksi dengan bayinya sendiri karena menganggap bayi sebagai beban bagi dia," lanjutnya.
Terjadinya sindrom
baby blue disebutkan Sri Habibah berlangsung dengan cepat. Dan bila gejalanya menetap tak segera ditangani, maka dapat berkembang menjadi postpartum depression. Ketika sang ibu sudah mencapai tahap tersebut, ibu akan kehilangan minat dan gairah hidup dan tak mustahil mendorong terjadinya bunuh diri.
Bila semakin tak tertangani, kondisi depresi tersebut dapat menjadi peluang mengalami gangguan kejiwaan lebih berat, yaitu psikosis. Pada orang dengan psikosis, muncul halusinasi, delusi, dan gangguan realitas lainnya.
Sri Habibah menyarankan para suami dan keluarga untuk waspada bila muncul adanya gejala-gejala gangguan kejiwaan pada ibu sehabis melahirkan. Gejala tersebut berupa kejanggalan tingkah laku dari sikap keseharian.
Peran serta suami untuk tanggap dengan cepat dan memberikan dukungan maksimal kepada para ibu dengan sindrom tersebut sangat diharapkan. Selain itu, penempatan atau situasi lingkungan yang nyaman dan membantu pekerjaan sang ibu membantu meringankan beban psikologis yang dialami dalam mengurus anak dan rumah tangga.
(les)