Oshiya, Profesi Unik di Stasiun Kereta Jepang

Munaya Nasiri | CNN Indonesia
Rabu, 31 Agu 2016 07:00 WIB
Agar jumlah penumpang yang terangkut bisa dua kali lipat, pihak stasiun mempekerjakan oshiya, petugas pendorong—dalam arti harfiah.
Ilustrasi kereta Jepang (REUTERS/Kyodo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kereta bawah tanah merupakan salah satu kelebihan Negeri Sakura. Kecepatan dan ketepatan waktunya membuat hampir 40 juta penumpang menggantungkan mobilisasi mereka pada transportasi tersebut, setiap hari.

Sebagaimana dikutip dari Amusing Planet, kereta bawah tanah ini akan datang setiap lima menit sekali. Namun, pada saat-saat sibuk, kereta akan hadir setiap dua hingga tiga menit sekali. Itu berarti, akan ada 24 kereta yang datang setiap jamnya.

Itu merupakan jumlah yang banyak, dan tentunya bisa mengangkut banyak penumpang pula. Namun tetap saja kereta bawah tanah tersebut terisi penuh. Beberapa orang pun terhimpit pada pintu atau jendela kereta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Berdasarkan data dari Ministry of Land, Infrasrucure, and Transport pada 2007, beberapa dari kereta tersebut berjalan dengan kapasitas penumpang berlebih. Itu dilakukan agar semua penumpang bisa terangkut.

Agar jumlah penumpang yang terangkut bisa dua kali lipat, maka pihak stasiun pun mempekerjakan oshiya, staf berseragam yang bertugas sebagai pendorong—dalam arti harfiah.

Oshiya bertugas menjejalkan sebanyak mungkin orang ke dalam kereta bawah tanah tersebut. Dengan menggunakan sarung tangan putih, para oshiya mendorong orang-orang masuk ke dalam agar pintu kereta bisa tertutup.


Sistem ini pertama kali dilakukan di Shinjuku Station, Tokyo. Sebelumnya, oshiya disebut sebagai staf pengatur penumpang, dan sebagian besar terdiri dari mahasiswa yang bekerja paruh waktu. Namun saat ini tak hanya mahasiswa paruh waktu saja yang bekerja sebagai oshiya, tapi staf stasiun pun ikut-ikutan membantu selama jam sibuk.

Fenomena oshiya ini bukan lah yang pertama di Jepang. Sekitar satu abad lalu, New York City, Amerika Serikat, telah lebih dulu menggunakan tradisi ini.

Namun masyarakat di sana menganggap hal ini layaknya mengemas sarden dengan cara yang sadis. Mereka merasa ajang dorong-dorongan ini sebagai sesuatu yang bisa menimbulkan permusuhan, dan bukan mustahil pelecehan fisik.


Tren saling mendorong ini kemudian mulai hilang seiring munculnya pintu otomatis. Hal itu menyebabkan pula hilangnya pekerjaan bagi para pendorong.

Fenomena menarik ini pun akhirnya diangkat ke dalam sejumlah film layar lebar, seperti Subway Sadie (1926), Wolf's Clothing (1927), The Big Noise (1928), dan Love Over Night (1928).


(vga/vga)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER