Cerita Setengah Jam Beijing-Tianjin

Yusuf Arifin | CNN Indonesia
Senin, 19 Sep 2016 12:06 WIB
Soal kereta api, Indonesia jelas jauh tertinggal dari China. Di Negeri Tirai Bambu itu, jarak ratusan kilometer bisa ditempuh dalam hitungan menit.
Stasiun Tianjin merupakan stasiun kereta api utama yang menghubungkan Tianjin dengan Beijing. Stasiun modern ini sangat luas, bahkan bisa menyaingi bandara internasional di beberapa negara. (CNN Indonesia/Yusuf Arifin)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Tianjin, CNN Indonesia -- Cepat. Efisien. Tepat waktu. Bersih. Nyaman.

Kami serombongan wartawan dari Indonesia sedang dalam perjalanan di atas kereta cepat dari Beijing menuju Tianjin. Sekitar 138 kilometer memisahkan kedua kota.

Jalur kereta api cepat Beijing-Tianjin hanyalah satu ruas jalur dari 20 ribu kilometer lebih jalur yang ada di China dan terus bertambah. Terpanjang di dunia. Kereta yang kami tumpangi juga hanya satu dari empat ribu kereta semacam yang melayani seluruh jalur yang ada di China. Kami naik menggunakan gerbong kelas satu dengan biaya 60 Yuan atau sekitar Rp120 ribu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya, sejak lama, termasuk satu dari mungkin sekian banyak orang Indonesia yang skeptis dengan teknologi perkeretapian China (atau teknologi yang datang dari China pada umumnya). Karena pengaruh reputasi bukan fakta. Karena terlalu seringnya orang meremehkan kualitas barang produksi China.

Saya tidak bisa membandingkan kereta api cepat China dengan kereta api cepat Jepang (Shinkansen) yang terkenal itu. Karena saya belum pernah mencobanya. Tetapi saya cukup punya pengalaman berkeliling Eropa menggunakan kereta api cepatnya. Harus saya katakan, tidak ada yang bisa dikatakan lebih dari kereta api cepat di Eropa dibandingkan dengan yang ada di China. Sebanding sederajat.

Ini tidak sekadar berbicara tentang kereta apinya saja, tetapi juga stasiun maupun fasilitas penunjang lainnya. Dari mesin pembelian tiket, papan pengumuman elektronik, peron yang luas dan aman, eskalator dan lift, sarana untuk orang cacat fisik, dan segala sarana penunjang kenyamanan dan kemudahan untuk bepergian.

Zhao Guotang, orang nomor satu untuk urusan pembangunan kereta api Cepat China, berpose di depan kereta api cepat Beijing-Tianjin. (CNN Indonesia/Yusuf Arifin)
"Membangun jalur kereta api cepat itu tidak terlalu sulit," kata Zhao Guotang, orang nomor satu untuk urusan pembangunan kereta api Cepat China, yang menemani perjalanan kami. "Yang lebih memakan pemikiran adalah membangun semua fasilitas penunjang dan pengoperasiannya."

Gaya bicara profesor Teknik Sipil ini datar. Suaranya lunak dan pelan. Ekspresi mukanya nyaris tak pernah berubah. Tidak ada nada sombong ketika bercerita tentang pencapaian dunia perkeretaapian China yang luar biasa. Sedikit tersirat bangga, mungkin.

Zhao menekankan akan apa yang ia sebut sebagai terciptanya travel related jobs (pekerjaan yang tercipta terkait adanya kereta api cepat, dan pekerjaan yang termungkinkan tercipta karena adanya kereta api cepat, tetapi tidak terkait dengan kereta api cepat itu sendiri).

"Kereta api cepat hanya bagian dari infrastruktur yang intinya menghubungkan dua kota atau lebih dengan cepat," katanya. "Kereta api cepat menjadi bagian integral dari sebuah proyek besar pembangunan ekonomi dan sosial sebuah negara. Mudahnya begini, pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung yang di rencanakan pemerintah Indonesia," katanya, tiba-tiba menyinggung Indonesia.

Zhao memang diserahi tanggung jawab sebagai orang nomor satu pembangunan kereta api cepat pertama di Indonesia itu.

Bagian dalam gerbong kereta api cepat Beijing-Tianjin. Kereta api ini mampu menempuh jarak 138 km hanya dalam waktu 40 menit, dengan kecepatan 325 km/jam. (CNN Indonesia/Yusuf Arifin)

"Setiap dua milliar rupiah akan mempekerjakan seribu tenaga kerja. Kalau biaya keseluruhan 60 triliun rupiah anda ekstrapolasikan sendiri jumlah tenaga kerja yang akan terserap," kata dia. "Itu baru yang terkait langsung dengan pengerjaan pembangunannya. Kita belum berbicara tentang travel related jobs antara dua kota sesudah pembangunan selesai." Matanya berbinar ketika ia mengatakan itu. Sekejap saja. Sebelum binar itu bersembunyi di wajah tanpa ekspresi emosi.

Ketika kami tanya mengapa pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung sepertinya mengalami kemacetan. Ia juga kebingungan sendiri. "Seperti tidak ada yang memegang kendali tanggung jawab proyek ini. Tidak ada kesatuan komando,’" kata Zhao yang sudah dua kali datang ke Indonesia, tetapi hanya diberi visa turis. Sehingga untuk sekadar mengadakan rapat pun ia tidak bisa. Apalagi mau memeriksa ke lapangan.

"Saya tidak tahu counterpart saya dari Indonesia siapa," keluhnya. "Saya bingung kepada siapa harus berkoordinasi." Kami rombongan wartawan seperti hendak mengatakan, begitulah Indonesia. Tetapi yang keluar dari kami hanyalah senyum getir. Sambil mengangguk-angguk (tolol) karena tidak tahu harus berkata apa.

Begitupun, ia masih optimis bahwa proyek kereta api cepat akan pada akhirnya selesai tepat waktu.

"Kalau urusan dari pihak Indonesia semuanya bisa beres, saya yakin 1,5 tahun paling lama dua tahun proyek bisa selesai."

Selama perjalanan, nyaris kami semua anggota rombongan tidak ada yang duduk. Berdiri mengelilingi Zhao, mencecarnya dengan berbagai pertanyaan, dan menyimak penjelasannya. Sekali dua kali kami menyempatkan diri mengambil gambar, baik foto maupun video, suasana di dalam gerbong. Kami belum benar-benar sempat duduk ketika perjalanan Beijing-Tianjin selama 40 menit tiba di tempat tujuan. Kami berangkat pukul 10:00 dan tiba tepat pukul 10:40 waktu setempat.

Papan informasi di dalam gerbong kereta api cepat Beijing-Tianjin menunjukkan kecepatan kereta mencapai 304 km/jam. (CNN Indonesia/Yusuf Arifin)
Dengan laju kereta api sempat menyentuh kecepatan 325 kilometer per jam, terlihat di speedometer elektronik di dalam gerbong, memang apalah arti jarak 138 kilometer. Tak ada goncangan yang berarti ketika menyentuh kecepatan itu. Lebih mulus dari kereta api Jakarta-Yogyakarta yang sering saya tumpangi.

Ketika kami tiba di stasiun Tianjin, suasana peron terasa lenggang. Hanya mereka yang hendak bepergian boleh masuk ke dalam. Ratusan penumpang seperti tak cukup untuk membuat suasana menjadi riuh. Mereka langsung masuk ke lima kereta api cepat yang seperti ular putih licin mengilap, menunggu pemberangkatan di jalur masing-masing.

"Maafkan saya yang tidak bisa menemani anda semua menikmati Tianjin. Saya harus kembali ke Beijing dengan segera," kata Zhao menyalami kami ketika turun dari kereta. "Saya ada janji dengan istri untuk makan siang bersama."

Saya hanya tersenyum (masam) mendengar perkataanya. Bukan tentang makan siang dengan istrinya. Tetapi seolah menempuh jarak 138 kilometer pulang pergi adalah hal yang sangat alami dan tanpa upaya sama sekali. Kalau saja bukan Zhao yang ramah dan santun yang mengatakannya, saya pasti sudah memakinya, "sombong!"

Saya sadar perjalanan di atas kereta api cepat itu bukanlah sebuah kebetulan. Tetapi sebuah pameran. Saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa pemerintah China yang mengundang kami berkunjung ingin memberi pengalaman kami menggunakannya, agar bisa menuliskan kesan yang baik.

Insting saya sebetulnya enggan melakukan itu. Pun pasti ada cacat di sana-sini yang tak terlihat hanya dengan melakukan perjalanan pendek dan berbicara dengan pejabat resmi. Tetapi ketika angan saya melayang dan kemudian tanpa sadar bergumam, "Andai kereta api di Indonesia seperti ini," saya tahu keengganan itu sia-sia.

[Gambas:Video CNN]
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER